Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggantungkan Nyawa di Sungai Citarum...

Kompas.com - 03/10/2014, 09:23 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

PADALARANG, KOMPAS.com — "Srek… srek… srek…" suara garukan tangan Asep (42) kerap terdengar. Sudah hampir dua bulan ia mempunyai kebiasaan baru, menggaruk borok di kakinya yang kian melebar.

"Sudah ke dokter, tapi tak sembuh karena saya harus mencari ikan di Saguling," ujar ayah dua anak ini, beberapa waktu lalu.

Penyakit kulit yang diderita Asep sudah berlangsung belasan tahun terakhir. Asep tidak tahu kenapa kulitnya menjadi sensitif begitu menginjakkan kakinya di aliran Sungai Citarum. Biasanya, dalam sepekan, rasa gatal di kulitnya akan sembuh dengan sendirinya. Namun, akhir-akhir ini, rasa gatal itu malah menjadi borok dan tak jua sembuh.

Asep merasa tak punya banyak pilihan. Ia sempat menjadi tukang bangunan. Namun, ia terpeleset dan menabrak benda keras. Sejak saat itu, bagian pinggang Asep sering sakit jika bekerja terlalu berat. Akhirnya, ia kembali ke profesi lamanya sebagai pencari ikan.

"Tapi, ikannya masih susah dicari. Katanya, karena air sungainya sudah tercemar limbah, jadi ikannya pada nggak ada. Susah hidup sekarang mah, sudah serba mahal, penghasilan sama saja kadang menurun," tutur dia.

Asep hanya satu dari sekian banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di aliran Sungai Citarum. Ketua RW 13 Desa Cipeundeuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Ahyar (49), mengatakan, sebagian warganya kerap terserang penyakit kulit, mulai dari gatal-gatal biasa hingga melepuh serta infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

"Mata pencarian 80 persen warga saya bertani dan mencari ikan. Tapi, warga kesulitan mencari ikan karena bau limbah dari Sungai Citarum sangat menyengat," tuturnya.

Dulu, sambung Ahyar, pencari ikan bisa tahan hingga delapan jam. Namun, kini, baru dua jam di bantaran sungai, mereka merasa pusing dan mual. Karena itu, mereka membagi dua waktu dalam mencari ikan, yakni pagi hingga siang, dan kembali lagi saat sore.

Sebenarnya, warga sudah melayangkan surat keberatan kepada perusahaan, tetapi tak pernah ada tanggapan. Begitu pun saat perwakilan warga mendatangi perusahaan, satpam selalu mengatakan personalia atau petugas yang berwenang tak ada di tempat. Tak berhenti sampai di sana, warga juga melapor ke Pemkab Bandung Barat, tetapi responsnya lambat. Mereka pun akhirnya melapor ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

"Kalau seperti ini terus kasihan warga. Untuk RW 13 saja, jumlah warga mencapai 600 orang," imbuhnya.

Mendapat keluhan dari masyarakat, Kamis (2/10/2014), tim dari KLH dan Pemkab Bandung Barat mendatangi lokasi. Melihat pemandangan di Sungai Citarum, Asisten Deputi Bidang Pengaduan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Dodo Sambodo menggelengkan kepala.

Dodo mengatakan, secara visual tingkat pencemaran sungai sudah terlihat. Air sungai berwarna hitam pekat dengan tingkat PH yang sangat tinggi, yakni 13 dari normal 7-9. Begitu pun dengan temperatur yang mencapai 40, dari normalnya 30.

"Melihat dari dua parameter itu saja sudah terbukti tingkat pencemaran Citarum sangat parah, apalagi jika mendengar keluhan warga, baru dua jam di sini sudah pusing dan mual. Itu artinya ada zat tertentu yang memengaruhi kesehatan otak serta ISPA. Perusahaan harus bertanggung jawab dengan ini," ungkapnya.

Untuk itu, KLH dalam sepekan ini akan melakukan penelitian dengan tim KBB. Mereka akan mengambil air sungai, memeriksanya, dan melakukan wawancara dengan perusahaan di sepanjang aliran sungai. Bila perlu, akan dilakukan audit terhadap semua instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Jika ditemukan pelanggaran, perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi, perdata, dan pidana. Sanksi administrasi berupa paksaan dari KLH untuk membuat atau memperbaiki IPAL. Jika tidak dilakukan, perusahaan akan dibekukan. Jika setelah dibekukan tak juga dieksekusi, izin usaha akan dicabut. "Selama proses sanksi, perusahaan tersebut dipantau KLH," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com