Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bambu Runcing, Simbol Penghormatan atas Perjuangan Pendeta Rudianto

Kompas.com - 04/09/2014, 22:47 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com – Usianya hampir satu abad, tetapi Suhendro, masih memiliki daya ingat kuat ketika menceritakan perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda tahun 1945 silam. Termasuk ketika ia bersama kawan seperjuangannya, almarhum Pendeta Rudianto, bergabung dengan pasukan gerilya pimpinan mertua presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kawasan lereng Gunung Merbabu, Kaponan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.

“Kami termasuk pasukan Tentara Pelajar. Kami juga pernah bersama-sama ikut perang di Burma (kini Myanmar) di bawah pimpinan Pak Edhie (Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, red),” ujar Suhendro kepada Kompas.com, di komplek pemakaman Giriloyo Kota Magelang, Kamis (4/9/2014).

Tidak heran jika kakek dengan 36 cucu, 12 buyut, dan 5 canggah itu merasa bangga bisa menancapkan bambu runcing dan bendera merah putih di ujung pusara almarhum Pendeta Rudianto yang tepat berada di kaki bukit Tidar itu. Tidak tampak keletihan di raut wajahnya yang sudah keriput itu. Yang terlihat justru sikap tegap dan kuat berdiri tatkala menjadi inspektur upacara penancapan bendera yang diikuti oleh segenap keluarga Rudianto, mantan wakil wali kota Magelang, pemerhati sejarah hingga seniman itu.

Kendati demikian, sepasang mata dari anak buah Jenderal Sarwo Edhi Wibowo itu, sempat terlihat berkaca-kaca kala berkisah tentang perjuangan antara hidup dan mati berperang melawan penjajah Belanda.

“Rudianto itu keturunan Tionghoa dengan nama China, Ko King Gie. Beliau memang pantas dianugehari Pejuang 45. Pusaranya pantas dipancang bambu runcing berbendera merah putih sebagai tanda kehormatan,” ucap Suhendro.

Almarhum Rudianto meninggal pada 2 Januari 2014 lalu karena sakit. Sebelum meninggal, bersama istri Lita Setyawati tinggal di Jalan Sriwijaya No 16 Kelurahan Rejowinangun Utara, Kota Magelang. Ia merupakan cucu dari Ko Kwat I, pemilik pabrik cerutu yang sangat terkenal pada jaman penjajahan Belanda. Dia juga pernah jadi tenaga honorer di Akademi Militer Magelang sebagai dosen dan diangkat menjadi tenaga sipil Angkatan Darat di tempat yang sama.

“Pelajaran yang bisa diambil adalah semangatnya yang kuat dan gigih dalam berjuang. Tapi juga ingat, selain berjuang untuk kemerdekaan, jangan sampai lupa pada kesehatan diri,” ungkap mantan Ketua Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Magelang itu.

Sementara itu, menurut Bagus Priyana, seorang pemerhati sejarah, bahwa sosok Rudianto memang jarang atau bisa dikatakan nyaris tidak tertulis dalam buku-buku sejarah. Dari berbagai cerita, kata Bagus, Rudianto merupakan orang yang sangat low profile dan tidak mau “dibesar-besarkan” meski kiprahnya begitu luar biasa.

“Rudianto adalah sosok orangtua yang penuh dengan pengalaman dan ilmu. Beliau pernah menjadi dosennya Presiden SBY di Akademi Militer. Semasa hidup beliau juga tidak pelit berbagi ilmu dan cerita semasa perjuangannya. Kita sebagai generasi muda wajib meneladani beliau,” ucap Bagus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com