KOMPAS.com -
Erson Tase (27) dan kernetnya, dua minggu, tertahan di dermaga penyeberangan Bolok, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jatah uang makan Rp 300.000 untuk tiga hari perjalanan sudah ludes. Karena tak boleh beranjak jauh dari truknya, kebutuhan makan untuk hari selanjutnya terpaksa berutang di warung sekitar dermaga.

"Untung kenal baik dan pemilik warung percaya. Ketika keadaan seperti ini, kami bisa makan dengan ngebon dulu, bayarnya kemudian,” ujar Erson di Bolok. Hingga Sabtu (25/1), pelayaran dari Bolok, belum sepenuhnya normal.

Utang makan yang belum dibayarkan Erson membengkak, lebih dari Rp 600.000. ”Kami lega karena bos (pemilik truk) menelepon dan berpesan akan membayar utang itu. Yang terpenting adalah menjaga keselamatan truk dan muatannya,” ujarnya. Erson adalah pengemudi truk GalaTrans, bermuatan 200 zak semen milik Tobersun Sagala, pemilik pertokoan Ramayana di Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT.

Di dermaga penyeberangan Bolok, Erson tak sendirian. Saat Kompas menemuinya, Rabu lalu, sedikitnya 42 truk niaga juga sedang menunggu kesempatan menumpang kapal penyeberangan. Semuanya tujuan Rote, dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Bolok-Rote adalah lintasan dengan waktu tempuh paling pendek dari belasan rute penyeberangan di NTT.

Pengemudi truk lain, Thomas, mengatakan, ia memilih bertahan di Bolok karena biasanya penyeberangan ke Rote bisa tiba-tiba dibuka kembali setelah PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Feri mengetahui arus laut mulai mereda. ”Kalau ke daerah lain, penyeberangan biasanya baru dibuka jika perairan laut sudah tenang. Mungkin karena jarak tempuhnya jauh, di atas 10 jam,” ujarnya lagi.

Erson, Thomas, dan sejumlah pengemudi sama-sama mengaku sudah kehabisan uang makan sehingga terpaksa beramai-ramai berutang makan di warung sekitar dermaga. ”Kami belum tahu kapan penyeberangan normal kembali. Namun, kabar dari ASDP memperkirakan, Minggu (26/1) besok, cuaca membaik,” ujar Erson.

Feri berlindung

Hujan deras disertai angin kencang dalam beberapa hari ini juga melanda wilayah NTT sehingga lautan pun bergolak. Tak tahu pasti kapan laut akan kembali tenang. Hermin Welkis dari PT ASDP Bolok menyebutkan, ”Cuaca masih belum menentu. Armada feri kami semua berlindung di perairan yang aman.”

ASDP Bolok didukung 10 feri, termasuk tiga di antaranya yang sedang docking. Tujuh feri kini tersebar, yaitu 6 feri berlindung dan lego jangkar di perairan aman sekitar Bolok dan 1 feri tertahan di perairan Kalabahi, Kabupaten Alor, NTT. ”Perairan di wilayah NTT mengganas,” lanjut Hermin Welkis.

Selain mengganggu penyeberangan feri, cuaca ekstrem menyebabkan bencana di sejumlah daerah di NTT. Warga Naibonat, Kabupaten Kupang, Mikael Misa (52), misalnya, Selasa malam lalu ditemukan tewas setelah hanyut diterjang banjir. Setidaknya 16 rumah di Oesao, tetangga Naibonat, pekan lalu hancur diterjang puting beliung.

Hujan deras disertai angin juga merusakkan sedikitnya 36 rumah warga Kota Kupang. Saat yang sama, sebagian patung Tirosa, salah satu ikon Kota Kupang, rontok diterjang angin.

Nelayan di hampir seluruh wilayah NTT juga sudah lebih dari sebulan tidak melaut. ”Laut sedang ganas. Sementara kami memilih bertahan di rumah,” ujar Haji Hamitu, nelayan pemburu ikan laut dalam di Oesapa, Kota Kupang, Rabu lalu.

Bertahan di Pontianak

Gelombang laut yang mencapai 6 meter membuat distribusi barang antarpulau, terutama dari Jawa atau Sumatera ke Kalimantan dan sebaliknya, lumpuh. Kapal tak bisa meninggalkan Pelabuhan Senghi, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, untuk kembali berlayar. Kondisi itu masih berlangsung hingga Sabtu.

Budi Sahroyo (42), nakhoda Kapal Mesin Putra Segara Abadi, bersama dengan anak buah kapalnya duduk termenung di atas kapal yang bersandar di Pelabuhan Senghi. Barang kebutuhan pokok yang akan diangkut dari Pontianak ke Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, masih tertahan di atas kapal sejak seminggu lalu.

Budi tiba di Pontianak pada 16 Januari lalu dan semula akan kembali ke Natuna pada 18 Januari 2014. Namun, ia mendapat informasi dari perusahaan kapal tempatnya bekerja bahwa gelombang sedang tinggi. ”Di perairan Kalbar saja mencapai 6 meter. Apalagi, sampai menyeberang ke luar perairan Kalbar. Kami tak mau ambil risiko besar,” ujarnya.