Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidupi Empat Anak dengan Jadi Pemecah Batu

Kompas.com - 05/11/2013, 15:14 WIB
Kontributor Pare-Pare, Darwiaty Ambo Dalle

Penulis

PAREPARE, KOMPAS.com — Setiap pagi, Tisa (70), asal Taccolli, Kelurahan Lemoe, Kacamatan Bacukiki, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, memulai aktivitasnya. Berbekal paku dan karet ban, perempuan itu memecah batu kali untuk dijadikan kerikil.

"Sudah puluhan tahun saya kerja memecah batu. Dulunya saya dan suami memecah batu di sungai. Tapi sekarang sudah bisa di rumah sendiri karena batunya diangkut dari sungai ke sini (rumah)," katanya kepada Kompas.com, Selasa (5/11/2013) siang.

Tisa mengaku, meski hasilnya pas-pasan, dari hasil memecah batu tersebut dia berhasil membesarkan empat anaknya dan membantu sang suami agar asap dapur bisa tetap mengepul.

Untuk satu keranjang ukuran sedang kerikil dihargai Rp 3 ribu oleh pengumpul. Sehari, kata Tisa, dia hanya mampu mengumpulkan dua hingga tiga keranjang saja. "Itu pun kalau saya memecah tanpa henti dari pagi sampai sore. Waktu dulu-dulu, bisa lebih dari itu," jelasnya.

Tangannya terus mengayunkan palu untuk memecahkan batu seukuran bola tenis sambil tetap mengayun martil, memecah tiga batu berukuran bola tenis, yang diikat dengan karet ban bekas.

Jika beruntung, Tisa bisa mendapat uang hingga Rp 50 ribu dalam 10 hari. Namun diakui Tisa, dari tahun ke tahun, pesanan kerikil makin berkurang datang padanya. Bahkan, kata nenek 7 cucu ini, kadang kerikil yang telah dikerjakannya tak laku-laku hingga berbulang-bulan.

"Kalaupun ada yang mau beli, masih ditawar. Kadang saya jual lebih murah, dari pada tinggal menumpuk. Terlebih kalau sudah butuh uang," katanya.

Tisa bukan tak punya keluhan selama bertahun-tahun menjalani pekerjaan. Usia tua menyebabkan lengan kanannya kerap terasa sakit. Belum lagi batuk yang disertai sesak akibat abu batu yang terhirup.

Di kampung Taccolli, kaum perempuan biasa menjadi pemecah batu, sementara kaum lelakinya mengangkut batu dari Sungai Karajae, Parepare.

Menurut Ikani, putri Tisa, sekarang pemesan kerikil di perkampungan tersebut semakin berkurang karena pabrik-pabrik kerikil kini bermunculan lokasi perkampungan pemecah penghasil kerikil tersebut.

"Kadang kami menerima panggilan sebagai buruh panen padi. Itu pun juga semakin jarang karena petani sekarang mulai menggunakan mesin pemotong padi. Kami semakin tidak mendapat kesempatan bekerja untuk membantu ekonomi keluarga," keluhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com