Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Coba "Main-main" di Jatim

Kompas.com - 30/08/2013, 12:27 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - Siapa pun pemenang Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur 2013, tantangan sudah pasti membentang di depan mata. Siap-siaplah untuk tidak tidur nyenyak karena setumpuk persoalan sudah menanti. Sebagai barometer politik nasional, situasi sosial masyarakatnya sangat dinamis dan terkenal kritis.

Provinsi seluas 47.922 kilometer persegi ini sulit dilepaskan dari percaturan politik nasional. Di daerah ini lahir sejumlah tokoh pergerakan nasional, termasuk Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI. Hari Pahlawan, 10 November, adalah jejak heroik dan sepak terjang arek Suroboyo bernama Bung Tomo.

Sejak era kemerdekaan hingga era reformasi, tercatat pula tiga presiden dan dua wakil presiden berasal dari Jatim. Ketiga putra Jatim yang menjadi presiden itu adalah Soekarno, Abdurrahman Wahid, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun dua putra daerah yang jadi wapres adalah Try Sutrisno dan Boediono.

Fakta itu mengukuhkan asumsi bahwa Jatim secara geo-politik tidak bisa dianggap sepele.

Bagaimana dengan geo-ekonomi? Jatim adalah salah satu urat nadi perekonomian nasional. Di bidang pertanian tanaman pangan, Jatim surplus beras sehingga mampu menopang 30-40 persen kebutuhan pangan nasional. Produksi padi Jatim tahun 2012 sebanyak 12 juta ton dan tahun 2013 naik menjadi 12,5 juta ton. Daerah ini setiap tahun surplus 5 juta ton beras. Populasi sapi 4,709 juta ekor dan mampu memenuhi kebutuhan nasional sekitar 34 persen.

Produk hortikultura daerah ini juga diperhitungkan sehingga berani menolak buah dan sayur impor.

Belum lagi dari sektor industri. Separuh dari 62 pabrik gula di Tanah Air berlokasi di daerah ini. Sejumlah industri strategis juga berlokasi di sini, seperti PT Inka (kereta api), PT PAL (kapal), dan PT Semen Indonesia (Gresik). Air kemasan yang beredar di seantero negeri umumnya juga bersumber dari pegunungan Jatim.

Seluruh potensi tersebut didukung infrastruktur antara lain Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), pelabuhan laut tersibuk kedua di Tanah Air setelah Tanjung Priok (Jakarta). Bandar Udara Djuanda (di Sidorajo) juga tersibuk kedua nasional setelah Soekarno-Hatta (Cengkareng, Banten).

Sayangnya, potensi tersebut tidak berbanding lurus dengan realitas sosial. Jatim masih memiliki kantong-kantong kemiskinan. Kesenjangan sosial dan kemiskinan merebak. Karena tidak memadainya lapangan kerja dibandingkan populasi tenaga, daerah ini dikenal pula sebagai salah satu ”pengekspor” TKI/TKW. Setiap tahun rata-rata 120.000 TKI asal Jatim berangkat mengadu nasib ke luar negeri terutama ke Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi. Dalam 10 tahun terakhir, sudah 1,2 juta penduduk dari 38 kabupaten/kota di provinsi ini berstatus TKI.

Hal ini paradoks dengan peran Jatim sebagai salah satu pusat industri nasional dan melimpahya sumber daya alam. Juga timpang dengan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan, yakni 7,2 persen, melebihi angka nasional (7 persen).

Siapa pun yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur untuk lima tahun ke depan, hendaknya tidak mabuk kemenangan. Sebab, di pundaknya, terbebankan amanah dari sekitar 41 juta penduduk. Tentu, keseluruhan jumlah penduduk itu tidak semuanya memang memiliki hak pilih dan sempat menyalurkan suaranya. Namun, konsekuensi dari proses demokrasi adalah lahirnya pemimpin yang mengayomi semua kalangan. Gubernur dan wakil gubernur yang terpilih tidak lagi sepatutnya terjebak kepentingan golongan pendukung. Seyogianya mengurusi semua kalangan.

Sebagai daerah yang berbasis agraris, tentulah kehidupan dan peran petani patut mendapat perhatian serius dari pemimpin Provinsi Jatim. Produk hortikultura yang berlimpah memang membentengi provinsi ini dari produk hortikultura impor.

Namun, Ketua Bidang Penyuluhan dan Pengembangan Pertanian DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Arum Sabil, menyayangkan minimnya perlindungan kepada petani sehingga masih ada komoditas pokok yang harus diimpor.

Sebut misalnya kedelai. Dari total lahan 300.000 hektar, produksinya hanya 450.000 ton per tahun. Padahal kebutuhan daerah ini untuk produksi tempe dan tahu sekitar 550.000 ton.

Dengan biaya pilkada yang mencapai Rp 1 triliun (disertai energi dan pemikiran yang terkuras dari seluruh komponen), sepantasnya hajatan menghasilkan pemimpin yang membebaskan warga dari persoalan-persoalan klasik.

Di luar soal ekonomi, masalah pendidikan dan kesehatan juga tak kalah penting. Jatim masih tercatat sebagai salah satu dari 10 besar provinsi yang memiliki penyandang buta aksara di Indonesia. Dalam bidang kesehatan, hingga Agustus 2012, terdapat 357 orang terpasung.

Membebaskan Jatim dari penderita gangguan jiwa yang terpasung sejatinya tidak sulit. Para penderita dari keluarga miskin telah difasilitasi melalui program jaminan kesehatan masyarakat. Jatim juga punya sejumlah rumah sakit jiwa dengan fasilitas memadai. Bahkan, di sini terdapat perguruan tinggi dengan fakultas kedokteran yang bisa diajak bekerja sama.

Kaca mata nasional selalu menyorot daerah ini. Jadi, jangan coba ”main-main”. (AGNES SWETTA PANDIA/NASRULLAH NARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com