Namun, masih ada tokoh dari dataran tinggi Gayo yang dianggap layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Keberanian dan kemampuannya dalam perang gerilya melawan penjajah Belanda pada tahun 1940-an sangatlah berbeda dengan kemampuan pahlawan lain yang telah gugur di medan perang.
Mengapa demikian? Aman Dimot di bawah pimpinan Ilyas Leube berperang dengan cara yang unik, yaitu menghadang tank dan truk pasukan Belanda.
Bukan hanya itu, dia dianggap kebal dan memiliki ilmu kanuragan karena tidak tergores apabila disabet pedang ataupun tidak mempan ditembus peluru.
Sejarah perang heroik
Pada tanggal 30 Juli 1949, di sekitar Tanah Karo, Sumatera Utara, pasukan Bagura dan Mujahidin asal Aceh Tengah mengintai dan menunggu iring-iringan tank dan 25 truk Belanda.
Pasukan berjumlah 45 orang itu menggunakan persenjataan senapan dan kelewang.
Berdasarkan sejumlah sumber, pasukan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) yang dipimpin Ilyas Leube bersama gerilyawan setempat menyerbu tank dan truk tersebut dengan membabi buta sehingga membuat pasukan marsose kalang kabut.
Satu dari puluhan serdadu tersebut bernama Abu Bakar yang dijuluki dengan Pang atau (Sang Pemberani) Aman Dimot.
Sesuai dengan julukannya, Pang Aman Dimot dikenal pemberani dan tidak kenal takut jika menghadapi Belanda. Bahkan, pemuda itu tidak gentar walaupun dalam keadaan perang terbuka atau perang jarak dekat.
Hal itu terbukti saat pasukan tersebut mulai lelah karena keterbatasan orang, persenjataan, dan logistik.
Ditambah lagi, saat bala bantuan pasukan Belanda semakin melemahkan perlawanan pejuang saat itu, Aman Dimot berkeras untuk tetap melakukan perlawanan.
Pilihan itu tetap diambil meski Komandan Ilyas Leube sudah memberi perintah kepada pasukan tersebut untuk mundur dan meninggalkan medan perang.
Aman Dimot, pemuda kelahiran Tenamak, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, ini tetap menolak perintah Ilyas Leube. Dia memilih melanjutkan perang terbuka bersama dua rekannya, yaitu Pang Ali Rema dan Pang Edem.