Sekitar pukul 20 .00 WIB, Sri Sultan HB X dengan menggunakan busana takwa destar, wangkingan serta sindur, kain wiron dan cenelo keluar didampingi permaisuri GKR Hemas yang mengenakan kebaya tangkeban, bros atau peniti renteng, ukel tekul dengan bunga, ubet-ubet, angkin sindur, kain seradan duduk di teras Kagungan Dalem Gedhong.
Sri Sultan lantas memerintahkan Abdi Dalem Keparak untuk memanggil Kanjeng Raden Penghulu Diponingrat dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kraton Kota Yogyakarta. Setelah semua siap, Sri Sultan HB X menanyakan kesiapan pengantin putri dalam hal ini GKR Hayu yang disaksikan Kanjeng Raden Penghulu Diponongrat dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kraton.
Menanggapi pertanyaan dari Sri Sultan HB X, GKR Hayu menegaskan kemantapan hatinya menerima KPH Notonegoro. GKR Hayu lantas menandatangani surat nikah yang telah disiapkan oleh Kepala KUA Kecamatan kraton. Setelah mendengar jawaban dari GKR Hayu, Sri Sultan meninggalkan lokasi acara. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan Midodareni di Kagungan Dalem Bangsal Kedhaton.
Dahulu, upacara "Tantingan" ini menjadi sarana untuk memberitahukan siapa yang akan menikahi putri Sultan. Sebab dahulu, calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita belum saling mengenal. Pernikahan dilaksanakan melalui proses perjodohan. Seiring berkembangnya zaman, adat perjodohan mulai memudar sejak era Sultan HB IX. Saat ini tradisi "Tantingan" dimaksudkan untuk menanyakan kesiapan calon mempelai wanita.
Sebelumnya pada pagi pukul 09.00 WIB, kedua mempelai yakni GKR Hayu dan KPH Notonegoro telah menjalani prosesi "Parakan Nyantri" dan "Siraman".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.