Belum lagi selain aspek teknis, aspek administrasi pembangunan body bus seperti SRUT (sertifikat registrasi uji tipe) harus diurus dan dipenuhi sebelum bus laik untuk beroperasi. Maka penyidik perlu menelusuri apakah bus tersebut memiliki SRUT atau tidak.
Ada temuan bahwa ternyata sampai tahun lalu bus tersebut masih melakukan uji berkala (keur) di Dishub Wonogiri. Maka perlu didalami, saat keur terakhir, apakah body yang digunakan SHD atau bukan.
Jika keur terakhir menggunakan body SHD, maka petugas yang meloloskan keur bus tersebut patut diperiksa. Pasalnya, unit yang lolos uji terbukti tidak sesuai ketentuan.
Apalagi Kemenhub sedang gencar melawan ODOL (Over Dimension dan Over Load), maka seharusnya pemasangan body bus ke chasis yang tidak sesuai turut menjadi perhatian petugas keur.
Pasal yang bisa dikenakan ke pihak-pihak di atas setidaknya pasal kelalaian yang menyebabkan kematian (359 KUHP).
Untuk memperkuat sangkaan tersebut, penyidik perlu meminta keterangan dari pihak Hino, ahli terkait rancang bangun kendaraan, hingga ahli lain yang sekiranya bisa memberikan informasi penting agar pihak yang bersalah dalam kasus ini, selain sopir, bisa diminta tanggungjawab.
Berkaca pada perkara kecelakaan sebelumnya, pertanggungjawaban seakan berhenti pada sopir yang menjalankan kendaraan. Sementara pihak lain yang memiliki peran atas beroperasinya kendaraan tidak layak, nyaris tidak pernah tersangkut pidana.
Adanya perluasan pidana ke pihak selain sopir akan memberikan pesan kepada pemilik bus, bengkel body repair atau karoseri hingga petugas pengujian kendaraan bermotor agar tidak membiarkan bus tidak layak beroperasi.
Sehingga kecelakaan bisa semakin ditekan, dan pariwisata, studytour, atau apapun namanya tidak berujung duka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.