Dari 4.500 pengungsi itu, ada 569 yang kemudian dilaporkan tewas atau hilang di lautan Asia Tenggara. Ini angka tertinggi sejak 2014, saat jumlah korban mencapai 730.
Karena itu Ann Maymann, perwakilan UNHCR di Indonesia, mengatakan penting bagi otoritas setempat untuk tanggap dan segera menjalankan operasi pencarian dan pertolongan setelah mengetahui ada kapal pengungsi yang terancam bahaya atau mengalami kecelakaan.
Kata Maymann, banyak orang sulit memahami situasi yang dihadapi pengungsi Rohingya, yang kerap putus asa dan memiliki pilihan terbatas.
Bagi banyak pengungsi Rohingya, pilihannya adalah bertahan di kamp penampungan di Cox's Bazar, Bangladesh, yang begitu sesak karena kelebihan kapasitas dengan situasi kemanusiaan dan keamanan yang buruk, atau menjajal peruntungan dengan berlayar menaiki kapal yang tak layak, kata Maymann.
"Inilah kenyataannya bagi mereka," ujar Maymann.
Baca juga: Pencarian Kapal Rohingya yang Tenggelam di Aceh Barat Dilanjutkan
"Sayangnya, saya rasa masih banyak di antara kita yang tidak memahami hal itu. Kita benar-benar tidak bisa memahaminya, karena kita hidup dalam kehidupan kecil kita yang aman dan terlindungi."
Atika Yuanita Paraswaty, Ketua Perkumpulan Suaka Indonesia, juga menyoroti perjalanan laut para pengungsi Rohingya yang disebutnya "rentan untuk mengalami kecelakaan".
Menurutnya, tidak ada mekanisme khusus yang dapat memastikan keamanan, kondisi, dan kelayakan kapal yang digunakan dalam perjalanan.
Logistik yang minim dan cuaca yang tak menentu juga disebut dapat memengaruhi kondisi psikologis dan psikis para pengungsi selama berlayar.
"Dalam hal ini, perlu dilakukan penanganan berbasis hukum dan kemanusiaan," kata Atika.
Penanganan berbasis hukum yang dimaksud merujuk pada sejumlah kebijakan yang diatur di Peraturan Presiden No. 125/2016 yang membahas operasi pencarian dan pertolongan pengungsi saat kapal dalam kondisi darurat serta mekanisme penyelamatan para korban.
Baca juga: Panglima Laot Perintahkan Nelayan Aceh Tolong Pengungsi Rohingya Korban Kapal Terbalik
Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang salah satunya mewajibkan negara-negara untuk menyelamatkan kapal yang berada dalam kondisi darurat.
"Kewajiban hukum ini melengkapi kewajiban kemanusiaan yang diemban Indonesia sebagai sebuah negara," ujar Atika.
"Selain alasan kemanusiaan untuk menciptakan keadaan yang lebih aman bagi pengungsi, hal ini juga menjadi bentuk negara untuk melindungi manusia dalam ancaman terhadap nyawanya dalam hal dirinya mengalami kecelakaan di laut. Hak untuk hidup sendiri adalah bagian dari HAM yang harus dilindungi."
Meski begitu, Indonesia memiliki sikap berbeda.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia memang telah mengerahkan berbagai pihak untuk menjalankan operasi pencarian dan pertolongan bagi para pengungsi Rohingya yang jadi korban kapal terbalik, serta menyiapkan penampungan bagi mereka.
Baca juga: Kapalnya Terbalik, Puluhan Pengungsi Rohingya Terombang-ambing di Perairan Aceh
Namun Hadi Tjahjanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan itu semua berlandaskan pada rasa kemanusiaan.
Menurutnya, Indonesia sebenarnya tidak memiliki tanggung jawab untuk menerima dan menampung pengungsi,
Itu karena, kata Hadi, Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi. Makanya, ia bilang semua kebutuhan dasar pengungsi diurus oleh UNHCR dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM).
Wartawan di Aceh, Hidayatullah, berkontribusi untuk liputan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.