Salin Artikel

Pengungsi Rohingya di Aceh: Anak Saya Hilang, Saya Tak Mampu Menolongnya

Kapal yang karam itu membawa 142 pengungsi Rohingya dan tujuh anak buah kapal, menurut hasil verifikasi terakhir Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) yang dilakukan dengan mewawancarai korban selamat.

Sebanyak 75 dari 149 korban berhasil diselamatkan nelayan serta tim pencarian dan pertolongan (SAR) setempat pada 20-21 Maret.

Tiga jenazah korban, yang identitasnya telah diverifikasi UNHCR bersama otoritas setempat, lantas ditemukan di perairan Aceh Jaya pada 23 Maret. Satu jasad lain dievakuasi pada 24 Maret sore, juga di perairan yang sama.

Hingga 24 Maret siang, nelayan lokal telah melaporkan penemuan setidaknya 15 jasad yang terombang-ambing di lautan kepada tim SAR, yang kini berusaha mengevakuasinya.

Sementara itu, sekitar 50 orang diperkirakan telah meninggal tak lama setelah kapal terbalik, berdasarkan hasil wawancara UNHCR dengan korban selamat.

Dari sana, kemungkinan menemukan korban selamat lainnya "sangat, sangat sulit", kata Ann Maymann, perwakilan UNHCR di Indonesia.

"Ini adalah kejadian dengan jumlah korban jiwa terbesar di 2024 di kawasan [Asia Tenggara] dan terbesar sepanjang sejarah di Indonesia," kata Maymann pada BBC News Indonesia pada Minggu (24/3).

"Ini adalah tragedi besar. Ini menunjukkan betapa putus asanya orang-orang Rohingya dalam upaya mencari keselamatan. Dan, fakta bahwa mereka tidak punya opsi lain... Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain naik ke perahu itu."

Anak perempuannya, yang baru berusia delapan tahun, sedang tertidur pulas di dekapannya.

Lalu kapal terbalik, dan tiba-tiba sang anak terlepas dari tangannya.

"Saya berusaha menyelamatkan diri, dan saya tidak mampu menangkapnya," kata Fatema, berlinang air mata.

"Dia hilang."

Fatema tak sendiri. Rahena pun kehilangan dua anaknya karena kejadian ini. Satu laki-laki dan satu perempuan, masing-masing berusia 12 dan sembilan tahun.

Sebenarnya, awalnya Rahena berhasil menangkap anak perempuannya. Mereka mencoba bertahan di permukaan perahu yang terbalik.

Setelah beberapa waktu, anak perempuannya itu jatuh sakit.

"Saat dia tengah mencoba bertahan [melalui sakitnya] di atas permukaan kapal yang terbalik, mendadak kapalnya tenggelam," kata Rahena.

"Dia pun hilang."

Setelah kejadian, puluhan orang pun diperkirakan tewas seketika, berdasarkan kesaksian para korban selamat yang diceritakan ulang Faisal Rahman dari UNHCR.

Sebagian korban tidak bisa berenang, sebagian lain - terutama perempuan - kelimpungan berusaha menjaga anak-anaknya, sehingga kesulitan untuk menyelam dan mencari jalan keluar saat terjebak di kapal yang terbalik, kata Faisal.

"Pengungsinya sendiri mengatakan, banyak yang waktu mereka masih terapung di kapal, di atas kapal itu juga sudah meninggal orangnya," kata Faisal pada BBC News Indonesia.

"Perkiraan sekitar 50-an sudah meninggal [tak lama setelah kejadian]."

Banyak korban lantas terombang-ambing di perairan Aceh Barat, berusaha bertahan dengan duduk di atas kapal terbalik.

Enam di antaranya ditemukan dan diselamatkan nelayan setempat pada Rabu (20/03), sementara 69 orang dievakuasi tim SAR sehari berselang

Seiring berjalannya waktu, jasad para korban terbawa dari perairan Aceh Barat ke wilayah Aceh Jaya.

Pada Sabtu (23/03), tiga jenazah ditemukan terapung di perairan Aceh Jaya.

Proses identifikasi jenazah dilakukan dengan melibatkan korban selamat, kata Ann Maymann, perwakilan UNHCR di Indonesia.

"Ada tiga jasad yang telah diidentifikasi dan diselamatkan. Mereka telah diidentifikasi para pengungsi. Itu adalah [jasad] dua wanita dan satu anak laki-laki berusia 12 tahun," kata Maymann.

"Salah satu wanita [yang jadi korban] memiliki anak perempuan yang sebelumnya telah diselamatkan."

Hingga Minggu siang (24/03), tim SAR telah mendapat laporan dari nelayan setempat bahwa ada 15 jasad lain yang tengah terombang-ambing di lautan, kata Faisal.

Pada pukul 16.14 WIB hari yang sama, tim SAR berhasil mengevakuasi satu jasad dengan jenis kelamin laki-laki, kata Mirza, Komandan Operasi Satgas SAR Aceh Jaya.

Korban ditemukan di perairan Aceh Jaya, di lokasi berjarak 13 mil dari pantai.

Suhelmi, Komandan Tim Badan SAR Nasional (Basarnas) Pos Meulaboh di Aceh Barat, mengatakan bahwa pencarian terus berlanjut di hari Minggu, termasuk dengan menelusuri lokasi jenazah yang dilaporkan nelayan atau warga setempat.

"Namun, titiknya saling berjauhan antara satu mayat dan mayat yang lain," kata Suhelmi pada pukul 14.15 WIB, soal tantangan yang dihadapi.

Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya memang berkomitmen untuk terus menindaklanjuti laporan warga setempat serta mencari dan mengevakuasi jenazah yang terapung di lautan.

Namun, kata Faisal dari UNHCR, pencarian di perairan Aceh Jaya bisa jadi hanya akan berlangsung hingga Minggu.

Alasannya, berdasarkan perhitungan tim di lapangan, lewat dari hari Minggu, kemungkinan besar jasad para korban telah terbawa arus hingga mencapai perairan Aceh Besar.

"Untuk daerah-daerah yang lain, dari SAR juga masih terus memantau perkembangan dan akan siap merespons juga setiap laporan yang ada dari warga," kata Faisal.

Selain itu, tim SAR pun dikejar waktu karena selewat tujuh hari setelah terapung di laut, mayat korban bisa jadi tak lagi bisa diidentifikasi.

"Tujuh hari itu mungkin mayatnya masih bisa dikenali-lah, tapi selepas itu sudah sedikit demi sedikit akan rusak," ujar Faisal.

"Mungkin akan sulit untuk diidentifikasi, dan posisi mayat pasti sudah sangat lapuk sekali."

Sepanjang 2023, lebih dari 2.300 pengungsi Rohingya tiba di Indonesia. Angka ini sudah lebih tinggi dari jumlah total pengungsi Rohingya yang datang dalam empat tahun sebelumnya, menurut data UNHCR.

Hingga awal Januari 2024, jumlah pengungsi yang berada di Aceh sudah mencapai 1.800 jiwa, termasuk 140 orang yang bertahan dalam kurun waktu satu tahun.

Sementara itu secara global, pada 2023 nyaris 4.500 orang Rohingya melakukan perjalanan laut dengan menggunakan 41 kapal.

Dari 4.500 pengungsi itu, ada 569 yang kemudian dilaporkan tewas atau hilang di lautan Asia Tenggara. Ini angka tertinggi sejak 2014, saat jumlah korban mencapai 730.

Karena itu Ann Maymann, perwakilan UNHCR di Indonesia, mengatakan penting bagi otoritas setempat untuk tanggap dan segera menjalankan operasi pencarian dan pertolongan setelah mengetahui ada kapal pengungsi yang terancam bahaya atau mengalami kecelakaan.

Kata Maymann, banyak orang sulit memahami situasi yang dihadapi pengungsi Rohingya, yang kerap putus asa dan memiliki pilihan terbatas.

Bagi banyak pengungsi Rohingya, pilihannya adalah bertahan di kamp penampungan di Cox's Bazar, Bangladesh, yang begitu sesak karena kelebihan kapasitas dengan situasi kemanusiaan dan keamanan yang buruk, atau menjajal peruntungan dengan berlayar menaiki kapal yang tak layak, kata Maymann.

"Inilah kenyataannya bagi mereka," ujar Maymann.

"Sayangnya, saya rasa masih banyak di antara kita yang tidak memahami hal itu. Kita benar-benar tidak bisa memahaminya, karena kita hidup dalam kehidupan kecil kita yang aman dan terlindungi."

Atika Yuanita Paraswaty, Ketua Perkumpulan Suaka Indonesia, juga menyoroti perjalanan laut para pengungsi Rohingya yang disebutnya "rentan untuk mengalami kecelakaan".

Menurutnya, tidak ada mekanisme khusus yang dapat memastikan keamanan, kondisi, dan kelayakan kapal yang digunakan dalam perjalanan.

Logistik yang minim dan cuaca yang tak menentu juga disebut dapat memengaruhi kondisi psikologis dan psikis para pengungsi selama berlayar.

"Dalam hal ini, perlu dilakukan penanganan berbasis hukum dan kemanusiaan," kata Atika.

Penanganan berbasis hukum yang dimaksud merujuk pada sejumlah kebijakan yang diatur di Peraturan Presiden No. 125/2016 yang membahas operasi pencarian dan pertolongan pengungsi saat kapal dalam kondisi darurat serta mekanisme penyelamatan para korban.

"Kewajiban hukum ini melengkapi kewajiban kemanusiaan yang diemban Indonesia sebagai sebuah negara," ujar Atika.

"Selain alasan kemanusiaan untuk menciptakan keadaan yang lebih aman bagi pengungsi, hal ini juga menjadi bentuk negara untuk melindungi manusia dalam ancaman terhadap nyawanya dalam hal dirinya mengalami kecelakaan di laut. Hak untuk hidup sendiri adalah bagian dari HAM yang harus dilindungi."

Meski begitu, Indonesia memiliki sikap berbeda.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia memang telah mengerahkan berbagai pihak untuk menjalankan operasi pencarian dan pertolongan bagi para pengungsi Rohingya yang jadi korban kapal terbalik, serta menyiapkan penampungan bagi mereka.

Namun Hadi Tjahjanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan itu semua berlandaskan pada rasa kemanusiaan.

Menurutnya, Indonesia sebenarnya tidak memiliki tanggung jawab untuk menerima dan menampung pengungsi,

Itu karena, kata Hadi, Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi. Makanya, ia bilang semua kebutuhan dasar pengungsi diurus oleh UNHCR dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM).

Wartawan di Aceh, Hidayatullah, berkontribusi untuk liputan ini.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/26/152500878/pengungsi-rohingya-di-aceh--anak-saya-hilang-saya-tak-mampu-menolongnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke