Karang Jangkong berada di tengah-tengah pusat pemerintahan Raja Bali tahun 1800-an.
Ketika itu, hampir seluruh warganya memiliki keahlian memenuhi kebutuhan para raja, mulai dari ahli masak, ahli menghias raja dan keluarganya, hingga menjahit pakaian keluarga raja.
Baca juga: 6 Makanan Buka Puasa untuk Penderita Asam Urat
Sampai sekarang, kata Wardiah, warga Karang Jangkong termasuk dirinya diberikan kemampuan tersebut.
Ia bisa memasak, menghias pengantin dan suaminya, Suhardi (54), jago menjahit karena terlahir dari keluarga penjahit di Lingkungan Karang Jangkong.
"Semua lengkap di kampung ini, berkah yang diberikan Tuhan ya, sampai sekarang kampung ini memiliki ciri tersendiri."
"Semua kreatif, sehingga cara bertahan hidup warga di sini sangat bagus, apalagi ketika covid-19, kami bisa melaluinya dengan baik," katanya.
Ebatan khas Sasak di Karang Jangkong tidak bisa terlepas dari peranan para pendahulu mereka.
Wardiah mengisahkan bahwa awal mula ebatan dikenal banyak orang dari racikan Run (peracik masakan) bernama Papuk Ikoq atau Papuk Mustika.
Papuk Mustik yang mengawali membuat ebatan dan langsung membuat siapa pun jatuh cinta dengan rasanya.
Kemampuan Run bernama Mustika ini diturunkan pada anak perempuannya bernama Hj Esah (80).
Terakhir Esah berjualan ebatan tahun 2015, setelah itu Esah istirahat karena berusia lanjut. Anak-anak kandungnya tak ada yang meneruskan.
Wardiah yang belajar dari membantu Esah berjualan, kini menyerap ilmu Esah dengan baik dan melanjutkan usaha turun temurun di kampung itu.
Baca juga: 12 Makanan Buka Puasa untuk Penderita Penyakit Ginjal
"Saya ini keponakannya, mungkin yang paling disayang ya, karena racikan ebatan dari Papuk Mustika turun ke Hj Esah kini turun ke saya."
"Alhamdulillah sekali ya," katanya penuh syukur sambil menyiapkan racikan ebatan sebelum dibawa ke lapak yang buka setiap hari di depan gang Jl Anggrek Karang Jangkong, yang dikenal sebagai kampung kuliner di Kota Mataram.
Sebuah pesta atau begawe belum sempurna jika tak ada ebatan dalam hidangan.
Pemerhati Budaya Lombok, H Safwan AR, menjelaskan bahwa ebatan menunjukkan kelas sebuah pesta.
"Istilahnya kalau ngebat (ada hidangan ebatan) itu artinya pestanya besar, kalau tidak ada ebatan pestanya biasa biasa saja," kata Safwan kepada Kompas.com, Jumat (22/3/2024).
Dalam proses membuat ebatan tidak boleh sembarangan. Harus dilakukan oleh seorang Ran atau Peracik bumbu atau kepala juru masak.
"Kalaupun bukan juru masak yang melakukan harus diawasi oleh kepala juru masak atau Ran, jadi tidak bisa sembarang orang, karena ini makanan istimewa dan yang membuatnya harus memiliki keseriusan dan kesabaran yang tinggi," kata Safwan.
Ebatan khas Sasak ada beragam, yang paling tinggi tingkatannya selain beragam jenis sayuran, yang paling utama harus ada daun belimbing, lawar dan cokot.
Cokot inilah yang jarang ditemui karena terdiri dari daging kualitas baik dan jeroan seperti hati dan paru-paru sapi.