Salin Artikel

Ebatan Khas Sasak, Makanan Para Raja yang Paling Diburu Saat Berbuka

"Ini adalah makanan para raja di zamannya, kalau sekarang orang orang sebut makanan sultan, bukan karena mahal, tapi sulit dicari," kata Yaya Wardiah (53), peracik ebatan asal Karang Jangkong, Kamis (21/3/2024) di rumahnya.

Apa yang dikatakan Wardiah memang benar. Proses pembuatan makanan para raja ini tidak mudah.

Sebab, membutuhkan ketrampilan menakar bumbu yang pas sehingga rasanya tidak berubah dari resep turun temurun yang dipelajarinya sejak masih muda. 

Namun bagi Wardiah, semuanya terlihat mudah. Ia dengan gampang membuat Ebatan yang tidak semua orang mampu melakukannya, termasuk meracik bumbu atau ragi Sasak.

Ada lima jenis sayuran yang masing-masing mendapat perlakuan khusus untuk menjadi ebatan.

Pelengkap yang menjadi ciri khasnya adalah lawar atau daging cincang yang dicampur dengan cincangan kelapa muda.

Bagi Wardiah, tanpa lawar ebatan tidak akan sempurna memberikan cita rasa khas Sasak.

Lima jenis sayuran itu adalah daun kemangi dicampur dengan kecambah, kemudian perie atau pare yang direbus matang, terong bulat segar dipotong tipis direndam dengan air garam sebelum dibalur parutan kelapa dan bumbu kari yang nikmat.

Khas lainnya adalah pisang batu muda yang direbus dan dicincang serta daun belimbing muda.

Daun belimbing, menurut Wardiah, sangat pas untuk ebatan karena selain rasanya khas daun ini bisa menetralisir campuran bumbu dan parutan kelapa yang ditakutkan penderita hipertensi ( darah tinggi).

Daun belimbing muda ini sangat pas untuk kesehatan, salad ala suku Sasak yang menyehatkan.

Semua jenis sayuran itu, satu per satu dicampurkan dengan parutan kelapa yang disangrai kemudian dikukus agar awet dan tidak cepat basi.

Tak hanya itu, bumbu spesial racikan Wardiah akan membuat rasa ebatan menjadi lebih tajam dan nikmat di lidah.

Catatannya, bumbu setiap jenis sayuran tersebut berbeda, tentu dengan sentuhan daun bawang, garam dan sedikit gula sebagai pengganti micin.

"Insyaallah ebatan yang kami buat sehat dan tentu saja memiliki nilai sejarah yang luar biasa ya, apalagi tiap proses harus dilakukan dengan doa dan zikir," kata Ibu tiga orang anak ini.

Kerumitan dalam proses pembuatannya itulah yang menyebabkan ebatan ini layak disebut sebagai makanan para raja.

"Tidak hanya rumit, tapi rasa yang hadir dalam ebatan inilah yang membuat makanan ini istimewa dan di zaman kerajaan dulu, paling ditunggu."

"Jika ebatan tak ada dalam sebuah jamuan makan para raja, mereka tidak akan berkenan makan, itu menurut cerita turun temurun leluhur kami," katanya penuh semangat.

Wardiah mengatakan bahwa cerita turun temurun tentang Lingkungan Karang Jangkong, Kecamatan Cakranegara memiliki sejarah tersendiri, ketika Lombok dikuasai Raja Bali.

Seorang Raja Bali di wilayah kekuasaan Kerajaan Cakranegara, bernama Ana Agung Gede Ngurah Karang Asem menikah dengan Dende Aminah yang beragama muslim.

Raja tersebut dikabarkan masuk Islam setelah menikahi gadis Sasak tersebut dan yang tersebar cerita turun temurun sang raja selalu menyantap lauk berupa ebatan.

Hidangan itu wajib ada di meja makannya. Jika tidak, sang raja tidak berselera makan.

Karang Jangkong berada di tengah-tengah pusat pemerintahan Raja Bali tahun 1800-an.

Ketika itu, hampir seluruh warganya memiliki keahlian memenuhi kebutuhan para raja, mulai dari ahli masak, ahli menghias raja dan keluarganya, hingga menjahit pakaian keluarga raja.

Sampai sekarang, kata Wardiah, warga Karang Jangkong termasuk dirinya diberikan kemampuan tersebut.

Ia bisa memasak, menghias pengantin dan suaminya, Suhardi (54), jago menjahit karena terlahir dari keluarga penjahit di Lingkungan Karang Jangkong.

"Semua lengkap di kampung ini, berkah yang diberikan Tuhan ya, sampai sekarang kampung ini memiliki ciri tersendiri."

"Semua kreatif, sehingga cara bertahan hidup warga di sini sangat bagus, apalagi ketika covid-19, kami bisa melaluinya dengan baik," katanya. 

Ebatan khas Sasak di Karang Jangkong tidak bisa terlepas dari peranan para pendahulu mereka.

Wardiah mengisahkan bahwa awal mula ebatan dikenal banyak orang dari racikan Run (peracik masakan) bernama Papuk Ikoq atau Papuk Mustika.

Papuk Mustik yang mengawali membuat ebatan dan langsung membuat siapa pun jatuh cinta dengan rasanya.

Kemampuan Run bernama Mustika ini diturunkan pada anak perempuannya bernama Hj Esah (80).

Terakhir Esah berjualan ebatan tahun 2015, setelah itu Esah istirahat karena berusia lanjut. Anak-anak kandungnya tak ada yang meneruskan.

Wardiah yang belajar dari membantu Esah berjualan, kini menyerap ilmu Esah dengan baik dan melanjutkan usaha turun temurun di kampung itu.

"Saya ini keponakannya, mungkin yang paling disayang ya, karena racikan ebatan dari Papuk Mustika turun ke Hj Esah kini turun ke saya."

"Alhamdulillah sekali ya," katanya penuh syukur sambil menyiapkan racikan ebatan sebelum dibawa ke lapak yang buka setiap hari di depan gang Jl Anggrek Karang Jangkong, yang dikenal sebagai kampung kuliner di Kota Mataram.

Sebuah pesta atau begawe belum sempurna jika tak ada ebatan dalam hidangan.

Pemerhati Budaya Lombok, H Safwan AR, menjelaskan bahwa ebatan menunjukkan kelas sebuah pesta.

"Istilahnya kalau ngebat (ada hidangan ebatan) itu artinya pestanya besar, kalau tidak ada ebatan pestanya biasa biasa saja," kata Safwan kepada Kompas.com, Jumat (22/3/2024).

Dalam proses membuat ebatan tidak boleh sembarangan. Harus dilakukan oleh seorang Ran atau Peracik bumbu atau kepala juru masak. 

"Kalaupun bukan juru masak yang melakukan harus diawasi oleh kepala juru masak atau Ran, jadi tidak bisa sembarang orang, karena ini makanan istimewa dan yang membuatnya harus memiliki keseriusan dan kesabaran yang tinggi," kata Safwan.

Ebatan khas Sasak ada beragam, yang paling tinggi tingkatannya selain beragam jenis sayuran, yang paling utama harus ada daun belimbing, lawar dan cokot.

Cokot inilah yang jarang ditemui karena terdiri dari daging kualitas baik dan jeroan seperti hati dan paru-paru sapi.

"Cokot itu biasanya ditaruh di bagian paling atas dari sejumlah bahan ebatan. Itulah yang membuat ebatan ini istimewa," katanya.

Ebatan diburu untuk berbuka

Dari beragam jenis makanan di bulan Ramadhan, ebatan menjadi salah satu yang diburu, karena hanya ada saat puasa.

Wardiah percaya ilmu meracik ebatan akan diturunkan pada putrinya Rima (23), selain cekatan dan tekun Rima juga yang menjaga lapak melayani pembeli sepanjang bulan Ramadhan.

Bagi Rima, selain mendalami ilmu berniaga dia juga ingin mendapat berkah pahala karena membantu orang tua.

"Mamak di rumah saja setelah meracik ebatan, saya yang mengantikan mamak melayani pembeli," kata Rima.

Lapak belum dibuka para pengemar masakan ibunda Rima, Wardiah telah menunggu, bahkan mereka ikut membantu menata jualan lapak yang berada di jalan Lingkungan Karang Jangkong.

"Kalau banyak yang beli jualan habis, laris manis, kalau ada sisa, biasanya kita konsumsi sendiri dan bagikan bagi yang berkenan, karena sisa jualan tidak boleh dijual lagi," ungkp Rima.

Termasuk ebatan wajib habis sebelum waktu berbuka tiba karena memang makanan paling dicari.

H Suparno asal Lombok Tengah yang menetap di Kota Mataram, mengaku mencari ebatan untuk berbuka. Baginya, tidak lengkap berbuka kalau tak ada ebatan.

"Saya memang mencari ebatan untuk berbuka, dan hanya di sini yang rasanya asli, di tempat lain rasa dan bahannya beda," katanya.

Demikian juga dengan Sutrisno, warga Cakranegara yang memang penggemar berat ebatan.

"Kalau di tempat lain saya tidak cocok rasanya, ini yang pas racikan bumbunya, makan ini seperti raja rasanya, mewah aroma dan rasanya," kata Sutrisno.

Neli, pembeli asal Mataram mengaku baru pertama kali mencoba membeli ebatan, karena penasaran dengan cerita orang akan rasanya yang unik.

"Saya belum pernah makan, ini dah mau coba pertama kali karena penasaran," katanya.

Hariawan (54) sepupu Wardiah yang membantu Rima menjaga lapak membenarkan bahwa di jalan Raja Bali, ebatan ini paling dicari dan hanya ebatan dari Karang Jangkong yang diinginkan.

"Resep ebatan ini warisan turun temurun, yang harus dijaga dan diwariskan pada generasi berikutnya," kata Hariawan.

Warisan leluhur

Sebagai warga Karang Jangkong banyak cerita para leluhur yang harus ditelusuri termasuk cerita tentang makanan khas lombok yang terancam punah jika tidak diwariskan.

Meski Lombok kaya akan makanan tradisional yang khas, cuma jarang ada yang tahu anak anak zaman sekarang, Hariawan sangat menyayangkan hal itu.

"Adanya ebatan dalam sebuah hajatan atau pesta, menunjukkan jika pesta itu mewah, hal-hal seperti itu nampaknya tidak terbangun dalam pikiran generasi saat ini," katanya.

Makanan seperti ebatan kadangkala dianggap kolot dan ketinggalan zaman, mereka lebih suka makanan Korea dan cepat saji, padahal dari segi kesehatan makanan seperti ebatan kaya akan kandungan vitamin dan serat, karena berupa sayuran.

Hariawan berharap anak-anak muda saat ini mulai belajar tentang warisan leluhur agar tak kehilangan jejak, tentang makanan tradisonal yang memiliki nilai sejarah.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/22/165116778/ebatan-khas-sasak-makanan-para-raja-yang-paling-diburu-saat-berbuka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke