Kemudian pada Senin sore, masyarakat kembali merusak fasilitas konservasi di Open Orangutan Sanctuary di Danau Alo, bahkan menyandera lima orang petugas FZS.
“Kami prihatin dengan kondisi ini dan berharap semua pihak dapat menahan diri, bersama-sama mencari solusi untuk menyelamatkan satwa liar khususnya gajah sumatera dan orangutan sumatera,” kata Donal.
Pasca-insiden itu, Kapolres Tanjung Jabung Barat, AKBP Agung Basuki, mengatakan telah memeriksa 16 saksi yang terdiri dari petugas BKSDA, staf FZS, serta masyarakat setempat. Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka sejauh ini.
Baca juga: Terendam Banjir, Akses Jalan Nasional Sumbar-Jambi Terputus
Salah satu warga Desa Muara Danau, Syukur, mengeklaim bahwa gajah-gajah tersebut “mulai memasuki kampung” sejak empat hingga lima tahun yang lalu.
Gajah-gajah itu menurutnya telah merusak tanaman di kebun-kebun yang digarap masyarakat. Mayoritas merupakan kebun sawit dan selebihnya karet.
“Dia [gajah] menyebar-nyebar, misalnya di sini diambil 10 sampai 15 pokok [batang sawit], terus pindah lagi ke yang lain habis sampai 20 sampai 30 pokok. Gitu terus tiap malam,” kata Syukur kepada wartawan Suwandi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Syukur sendiri memiliki dua hektare kebun sawit berumur delapan tahun. Dalam satu kali panen, kebunnya menghasilkan sekitar 200 hingga 300 kilogram yang dijual seharga Rp1.600 hingga Rp1.800 per kilogram.
Baca juga: Gajah Sumatera Rusak Kebun Sawit di Jambi, Warga Pun Mengamuk
Akibat konflik dengan gajah, Syukur mengatakan harus menanam ulang sawit sampai empat hingga lima kali karena kerap dirusak oleh gajah. Itu artinya dia harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli bibit baru dan pupuk.
Ketika itu terjadi, Syukur mengaku harus bekerja lebih keras dengan menyadap karet milik orang lain untuk modal membeli bibit sawit dan pupuknya. Sementara mayoritas masyarakat di desanya bergantung pada sawit, meski ada imbauan untuk me
“Sekarang kan sawit yang menjanjikan,” kata dia.
Dia mengakui bahwa ada kebun sawit masyarakat ada yang terletak di dalam kawasan hutan produksi, tapi itu “hanya sebagian”. Kebanyakan kebun sawit yang ada di kawasan itu pun baru mulai menanam dalam satu hingga tahun terakhir.
Ada pula masyarakat dari luar daerah yang berinvestasi di kebun-kebun sawit di wilayah ini dengan nilai investasi berkisar Rp70 juta-Rp100 juta per hektare.
Menurutnya, konflik dengan gajah sudah berulang kali dan warga telah melaporkannya kepada BKSDA. Namun, Syukur menyebut “tidak ada solusi”.
"Kesabaran masyarakat sudah habis," kata dia.
Baca juga: Polda Jambi Tangkap Pelaku Perusakan Kantor Gubernur
Ketika kawasan itu beralih menjadi kebun-kebun sawit, posisi gajah pun ikut terjepit. Pasalnya, gajah sumatera biasanya hidup di hutan dataran rendah dengan ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (dpl).
Mereka tidak bisa masuk lebih dalam ke TN Bukit Tigapuluh karena lanskapnya yang berbukit-bukit dengan ketinggian mencapai sekitar 800 meter dpl.
“Jadi sudah terjepit posisinya. Geser ke bawah ada desa, geser ke atas sudah hutan yang tinggi. Sementara di tengah-tengahnya ada [kebun] masyarakat juga,” jelas Zuhra.
Baca juga: 11 Hari Kebakaran Sumur Minyak Ilegal di Jambi Belum Berhasil Dipadamkan
Dalam kasus di Tanjung Jabung Barat ini, gajah-gajah jantan muda itu berpisah dari kelompok besarnya dan masuk ke kebun warga karena habitatnya yang semakin sempit. Ditambah lagi dengan sifat alami gajah yang gemar berkelana untuk mencari gajah betina di luar kelompoknya untuk menghindari kawin sedarah. Konflik ini membuktikan bahwa wilayah jelajah gajah di kawasan hutan semakin terbatas.
Di sisi lain, masyarakat memang memiliki izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, yang merupakan salah satu skema dari program perhutanan sosial. Secara legal, mereka memiliki hak untuk memanfaatkan tanaman hutan produksi agar mereka berdaya.
Namun pada praktiknya, area hutan produksi justru ditanami sawit. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sawit bukan termasuk tanaman hutan.
“Dan kebun-kebun seperti ini dalam praktiknya tidak mempertimbangkan koridor gajah,” kata dia.
Daerah penyangga TN Bukit Tigopuluh juga dikelilingi oleh perusahaan perkebunan hingga pertambangan batubara.
Baca juga: Anak Gajah Liar Ditemukan Terlilit Jerat di Hutan Way Kambas