Menurutnya, KLHK dan BKSDA semestinya bisa memitigasi ancaman-ancaman itu berdasarkan data soal daerah jelajah gajah yang mereka miliki sebelum alih fungsi lahan itu “terlanjur terjadi”.
“Kementerian hanya melihat lahan itu berdasarkan statusnya. Mau rusak, mau enggak, terserah. Padahal yang namanya izin perhutanan sosial itu pasti di kawasan hutan produksi, dan itu tidak boleh ditanam sawit. Kalau ada, artinya ada persoalan manipulasi izin,” kata Feri ketika dihubungi.
Baca juga: Penjara Gajah di Tepi Kebun Karet Ban Michelin
“Karena perhutanan sosial itu sistemnya hutan kemasyarakatan, artinya tata kelola guna lahannya itu seharusnya dicek. Kalau ada lintasan gajah semestinya tidak boleh ditebang dan ditanam lagi.”
Sementara itu, pengawasan pemerintah terhadap pemanfaatannya pun dia nilai “tidak berjalan sama sekali”.
“Seharusnya begitu diberikan perizinan, masyarakat menyusun rencana tanam. Ada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Dinas Kehutanan yang membina itu. Persoalannya memang ada di perencanaan, pengawasan, pengelolaan yang tidak beres,” ujar dia.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Dinas Kehutanan Jambi, Gushendra, mengakui pengawasan dan proses hukum terkait ekspansi yang mengancam hutan “belum efektif”.
“Jumlah polisi hutan kami saat ini tinggal 60 orang, sementara luas kawasan hutan yang harus diawasi lebih dari 1,2 juta hektare atau satu personel mengawasi 20.000 hektare,” kata Gushendra.
Baca juga: Penjara Gajah di Tepi Kebun Karet Ban Michelin
Sementara terkait kawasan hutan yang “terlanjur” ditanami sawit, Gushendra mengatakan penindakannya akan mengacu pada ketentuan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 dan 9 Tahun 2021, kawasan hutan yang “terlanjur” dan ditanami sawit wajib dikembalikan kepada negara setelah satu daur atau 25 tahun.
Namun menurut Feri dari Perkumpulan Hijau, dengan pola seperti itu, kawasan hutan yang menjadi ruang jelajah gajah akan terlanjur rusak pula.
Baca juga: Usai Merusak Kebun di Aceh Timur, Anak Gajah Dibantu Seberangi Sungai
Untuk kasus yang terjadi di Tanjung Jabar Barat, Zuhra mengatakan solusi yang paling mungkin diterapkan adalah menerapkan skema perkebunan multikultur.
Artinya, masyarakat tidak bisa hanya bergantung pada komoditas sawit yang notabene juga sangat disukai oleh gajah.
“Minimal kalau tanahnya 100 hektare, kasih lah 10 hektare untuk ditanami tanaman yang tidak disukai gajah, sehingga gajah punya shelter berlindung,” kata dia.
Berdasarkan riset Frankfurt Zoological Society (FZS), tanaman terbaik di kawasan hutan adalah campuran durian, petai, kopi, dan vanili. Perpaduan ini diyakini dapat mengurangi perusakan tanaman oleh gajah, namun juga memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.
Baca juga: Usai Merusak Kebun di Aceh Timur, Anak Gajah Dibantu Seberangi Sungai
Zuhra mengakui bahwa anjuran itu mungkin akan sulit diterapkan mengingat masyarakat sudah begitu bergantung pada manfaat ekonomi sawit.
Namun BKSDA akan berdialog dengan masyarakat untuk memberi pemahaman soal bagaimana hidup berdampingan dengan gajah.
Mengingat ruang jelajah gajah yang kian sempit dan ekspansi yang kian luas, persinggungan semacam ini sulit dihindari. Oleh sebab itu, Zuhra mengatakan penting bagi masyarakat untuk memahami situasi yang dihadapi oleh gajah sumatera.
“Kami akan mencoba merangkul masyarakat lagi, kami akan sampaikan lagi kondisinya apakah masih bisa diperjuangkan,” kata Zuhra.
Yang jelas sampai saat ini, dia mengatakan tidak ada opsi untuk memindahkan gajah-gajah tersebut karena cara itu juga tidak akan menyelesaikan akar persoalannya.
--
Wartawan di Jambi, Suwandi Wendy, berkontribusi dalam liputan ini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.