"Ya karena memang penyakit HIV-AIDS itu penyakit yang menakutkan, ya to? Meskipun orangnya meninggal, virusnya ikut mati, tapi hatinya peramut (perawat) jenazah ataupun hatinya masyarakat masih ada ketakutan itu," tutur lelaki yang juga guru mengaji di masjid setempat, Selasa (30/01) sore, kepada wartawan di Surabaya, Roni Fauzan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Seringnya kejadian itu. Kemudian di wilayah ini kurang adanya sosialisasi tentang HIV, gitu lho. Jadinya warga dan pekerja-pekerja seksual itu sepertinya kurang mendapatkan sosialisasi. Mendapatkan edukasi itu kayaknya nggak ada," kata Heri.
Heri menyoroti pekerjaan ES sebagai PSK dan juga maraknya prostitusi di daerah tersebut.
Baca juga: Sejarah Peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember
Kampung padat penduduk yang salah satu gangnya terdapat beberapa rumah yang menyewakan kamar bebas tamu dan hanya berjarak satu kilometer dari eks lokalisasi Dolly dan Jalan Jarak, dikatakan Heri, sampai sekarang masih eksis beroperasi.
Meskipun lokalisasi Dolly sendiri sudah ditutup Walikota Tri Rismaharini pada 11 tahun lampau.
"Dari pihak pemerintahnya sendiri, meskipun lokalisasi Dolly dan lainnya sudah tutup, ternyata [di sini] masih ada [praktik prostitusi liar]. Saya katakan ini karena kurang pengawasannya dari Pemkot," kata Heri.
Heri mengeklaim bahwa Modin seperti dia yang merupakan perangkat pekerja sosial yang ditunjuk oleh Dinas Sosial Pemkot Surabaya, masih terus melayani warga sebaik mungkin.
Baca juga: Ubah Kampung Prostitusi Dolly jadi Industri Produktif, Inggris Berikan Bantuan Rp9,57 Miliar
Dia juga mengaku sudah mengetahui prosedur standar untuk menangani jenazah warga yang mengalami sakit seperti AIDS.
"Kami dapatkan ilmunya dari pelatihan dari teman-teman LSM dan modin-modin sebelumnya," paparnya.
"Kami bekerja sama [khusus untuk merawat jenazah perempuan dengan kasus tertentu seperti HIV-AIDS] dengan beberapa LSM. Untuk misalnya jenazahnya warga laki-laki ya kami yang tetap menanganinya. Itu tanggung jawab kami sebagai sesama manusia makhluk Allah," pungkas Heri.
Rito Hermawan selaku Ketua Badan Pengurus Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) – jaringan nasional yang mengadvokasi pekerja seks di Indonesia – mengatakan apa yang terjadi di Surabaya memperlihatkan bahwa Indonesia belum mampu menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara termasuk pekerja seks.
“Negara belum hadir untuk kelompok kami,” tutur Wawan, sapaan akrabnya, kepada Amahl Azwar, wartawan di Jakarta yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Menurut data OPSI, semenjak tahun 2019 hingga 2023, terjadi peningkatan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap PSK perempuan baik dari pasangan, keluarga dekat, maupun masyarakat sekitar (di luar pelanggan).
Baca juga: 11 Tahun Hidup dengan HIV/AIDS, Emu Dirikan Rumah Singgah untuk ODHA, Ini Ceritanya
Wawan menilai pihak modin yang menolak memandikan jenazah ODHA, sekalipun sudah mendapatkan pelatihan, barangkali hanya memperoleh sosialisasi yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan juga edukasi tentang stigma dan diskriminasi.
Wawan juga menduga ada faktor lain seperti pergantian modin yang tidak dibarengi dengan knowledge transfer (transfer pengetahuan) dan juga faktor isu agama yang masih kental di daerah-daerah.
“Kami menyimpulkan pemerintah belum mampu mengatasi situasi stigma dan diskriminasi,” tandasnya.
OPSI, sambung Wawan, mendorong pemerintah daerah untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan publik melalui pengembangan kapasitas komponen perangkat daerah di semua level.
Baca juga: Refleksi Hari AIDS Sedunia 1 Desember: ODHA di Antara Stigma dan Penolakan
Wawan juga mendorong pemerintah untuk membuat satuan tugas sebagai pengawas dan memiliki ketegasan terhadap pihak-pihak yang melakukan kekerasan dan diskriminasi.
“Di tingkat masyarakat juga harus membuka kesadaran bahwa kekerasan dapat terjadi kepada siapa pun dengan latar belakang apa pun. Sehingga perlu dilakukan upaya sosialisasi peningkatan pengetahuan tentang penanganan stigma dan diskriminasi,” ujar Wawan.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani, mengatakan pihaknya memperoleh data kasus-kasus yang menunjukkan bahwa banyak perempuan dengan HIV mendapatkan kekerasan sehingga mereka tidak bisa lagi tinggal bersama keluarganya.
“Situasi tersebut memang mempersulit perempuan karena dampaknya cukup banyak. Selain dia harus keluar dari tempat dia tinggal, ada juga beberapa kasus [di mana ada kasus] seperti kehilangan hak asuh anak dan dia diabaikan oleh keluarga,” ujar Ayu kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Selama Pandemi Covid-19, Pelayanan bagi ODHA di Jabar Dipastikan Tak Terganggu
Menurut Ayu, apa yang terjadi kepada ES memperlihatkan bahwa perempuan dengan status HIV positif semakin terpojok.