Salin Artikel

Saat Jenazah Perempuan dengan HIV Ditolak Warga...

Jenazah perempuan berinisial ES itu meninggal dunia, pada Senin (29/01). Namun, warga setempat menolak untuk memandikan dan mengafani jenazahnya. Pemulasaraan jenazah almarhumah ES akhirnya ditangani oleh relawan pendamping ODHA.

ES, 49 tahun, adalah seorang perempuan yang semasa hidupnya bekerja sebagai pekerja seks komersil (PSK) dan memiliki seorang putri berusia 12 tahun.

Menurut data Kementerian Kesehatan, PSK adalah satu dari empat populasi kunci dalam program pemerintah untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Ketiga populasi kunci lainnya yakni pengguna narkoba suntik, waria (transpuan), dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki.

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengatakan bahwa perempuan dengan status HIV positif semakin terpojok karena kerap memperoleh tindak kekerasan dan diskriminasi.

Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) – jaringan nasional yang mengadvokasi pekerja seks di Indonesia – merilis data kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap PSK untuk tahun 2019, 2020, dan 2021.

PSK perempuan adalah yang paling rentan untuk mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM. Pada 2021 saja, dari 282 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap PSK di Indonesia, 259 di antaranya dialami PSK perempuan.

Data OPSI juga memperlihatkan Jawa Timur termasuk daerah dengan kasus kekerasan terhadap PSK terbesar dengan 88 kasus pada 2021 atau mengalami peningkatan dari 76 kasus pada 2020.

Sebagai aktivis pendamping kaum rentan sosial seperti ES, Rini mengatakan ES terdeteksi sebagai ODHA sejak awal Desember 2023 dengan diagnosa awal sakit lambung.

"Awalnya dia sakit-sakitan, itu November. Sempat mendapat perawatan di RS Haji dua kali. Membaik, pulang, dan harus kontrol lagi dua minggu sekali. Tapi kondisinya semakin menurun, karena seharusnya ada jadwal kontrol di awal Januari tapi tidak berangkat," ujar Rini kepada wartawan di Surabaya, Roni Fauzan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Terus saya mendapat kabar kemarin (29/01), ES meninggal subuh,” lanjutnya.

Pada Senin (29/01) pukul 9 pagi, Rini mendapat laporan bahwa tidak ada seorang pun yang datang merawat jenazahnya, termasuk modin (petugas sosial laki-laki dan perempuan dalam satu kawasan RW yang khusus mengurusi pernikahan dan kematian warga menurut agama Islam).

"Lho kok bisa? Saya pun akhirnya datang jam 09.30 setelah koordinasi dengan teman [relawan] lainnya. Gak onok uwong blas [tidak ada orang sama sekali].”

“Saya datang minta tolong untuk disiapkan alat memandikan jenazah, baru disiapkan. Itu pun siap dimandikan jam 1 siang", terang Rini.

"Jujur, saya sebagai pendamping ODHA pun masih awam memandikan jenazah. Untungnya ada teman kami Mbak Marwah yang bisa. Saya dan Mbak Anies pun sebisa-bisanya membantu," lanjutnya.

Rini mengungkapkan jenazah ES tidak tertangani begitu lama karena warga, perangkat kampung dan Modin “takut”.

"Alasannya karena takut. Padahal sebagai Modin, pasti sudah mendapatkan pelatihan menangani jenazah, termasuk yang ODHA. Yang melatih ya Dinas Kesehatan. Jadi nggak perlu takut. Yang tampak datang di situ lho hanya Modin laki-laki. Setelah selesai dikafani, bersih, Pak Modin dan asistennya inilah yang menyolati dan mendoakan jenazah, sampai di makamnya juga", ujar Rini.

ES pun akhirnya dimakamkan pada pukul 15.00 WIB. Ternyata kejadian ini tak hanya sekali ini saja terjadi.

Rini, yang tinggal tidak jauh dari ES, mengatakan peristiwa serupa sebelumnya pernah terjadi beberapa kali di kampung di Kecamatan Sawahan. Sebagai konteks, lokasi kampung ini berdekatan dengan eks lokalisasi Dolly dan area pemakaman Kembang Kuning, Surabaya.

"Seperti halnya tahun kemarin. Inisial AS pun nggak ada yang memandikan. Alasannya sama, takut," kata Rini.

"Ya karena memang penyakit HIV-AIDS itu penyakit yang menakutkan, ya to? Meskipun orangnya meninggal, virusnya ikut mati, tapi hatinya peramut (perawat) jenazah ataupun hatinya masyarakat masih ada ketakutan itu," tutur lelaki yang juga guru mengaji di masjid setempat, Selasa (30/01) sore, kepada wartawan di Surabaya, Roni Fauzan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Seringnya kejadian itu. Kemudian di wilayah ini kurang adanya sosialisasi tentang HIV, gitu lho. Jadinya warga dan pekerja-pekerja seksual itu sepertinya kurang mendapatkan sosialisasi. Mendapatkan edukasi itu kayaknya nggak ada," kata Heri.

Heri menyoroti pekerjaan ES sebagai PSK dan juga maraknya prostitusi di daerah tersebut.

Kampung padat penduduk yang salah satu gangnya terdapat beberapa rumah yang menyewakan kamar bebas tamu dan hanya berjarak satu kilometer dari eks lokalisasi Dolly dan Jalan Jarak, dikatakan Heri, sampai sekarang masih eksis beroperasi.

Meskipun lokalisasi Dolly sendiri sudah ditutup Walikota Tri Rismaharini pada 11 tahun lampau.

"Dari pihak pemerintahnya sendiri, meskipun lokalisasi Dolly dan lainnya sudah tutup, ternyata [di sini] masih ada [praktik prostitusi liar]. Saya katakan ini karena kurang pengawasannya dari Pemkot," kata Heri.

Heri mengeklaim bahwa Modin seperti dia yang merupakan perangkat pekerja sosial yang ditunjuk oleh Dinas Sosial Pemkot Surabaya, masih terus melayani warga sebaik mungkin.

Dia juga mengaku sudah mengetahui prosedur standar untuk menangani jenazah warga yang mengalami sakit seperti AIDS.

"Kami dapatkan ilmunya dari pelatihan dari teman-teman LSM dan modin-modin sebelumnya," paparnya.

"Kami bekerja sama [khusus untuk merawat jenazah perempuan dengan kasus tertentu seperti HIV-AIDS] dengan beberapa LSM. Untuk misalnya jenazahnya warga laki-laki ya kami yang tetap menanganinya. Itu tanggung jawab kami sebagai sesama manusia makhluk Allah," pungkas Heri.

“Negara belum hadir untuk kelompok kami,” tutur Wawan, sapaan akrabnya, kepada Amahl Azwar, wartawan di Jakarta yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Menurut data OPSI, semenjak tahun 2019 hingga 2023, terjadi peningkatan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap PSK perempuan baik dari pasangan, keluarga dekat, maupun masyarakat sekitar (di luar pelanggan).

Wawan menilai pihak modin yang menolak memandikan jenazah ODHA, sekalipun sudah mendapatkan pelatihan, barangkali hanya memperoleh sosialisasi yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan juga edukasi tentang stigma dan diskriminasi.

Wawan juga menduga ada faktor lain seperti pergantian modin yang tidak dibarengi dengan knowledge transfer (transfer pengetahuan) dan juga faktor isu agama yang masih kental di daerah-daerah.

“Kami menyimpulkan pemerintah belum mampu mengatasi situasi stigma dan diskriminasi,” tandasnya.

OPSI, sambung Wawan, mendorong pemerintah daerah untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan publik melalui pengembangan kapasitas komponen perangkat daerah di semua level.

Wawan juga mendorong pemerintah untuk membuat satuan tugas sebagai pengawas dan memiliki ketegasan terhadap pihak-pihak yang melakukan kekerasan dan diskriminasi.

“Di tingkat masyarakat juga harus membuka kesadaran bahwa kekerasan dapat terjadi kepada siapa pun dengan latar belakang apa pun. Sehingga perlu dilakukan upaya sosialisasi peningkatan pengetahuan tentang penanganan stigma dan diskriminasi,” ujar Wawan.

Secara terpisah, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani, mengatakan pihaknya memperoleh data kasus-kasus yang menunjukkan bahwa banyak perempuan dengan HIV mendapatkan kekerasan sehingga mereka tidak bisa lagi tinggal bersama keluarganya.

“Situasi tersebut memang mempersulit perempuan karena dampaknya cukup banyak. Selain dia harus keluar dari tempat dia tinggal, ada juga beberapa kasus [di mana ada kasus] seperti kehilangan hak asuh anak dan dia diabaikan oleh keluarga,” ujar Ayu kepada BBC News Indonesia.

Menurut Ayu, apa yang terjadi kepada ES memperlihatkan bahwa perempuan dengan status HIV positif semakin terpojok.

Bahkan, menurut data IPPI, tindakan kekerasan justru juga “dilanggengkan dan dilakukan oleh tenaga kesehatan” seperti misalnya mengungkap status pengidap HIV-AIDS tanpa seizin mereka.

“Sebagai warga negara, kita terlanggarkan karena negara gagal melindungi kami semua,” tegasnya.

Menurut Nadia, pemerintah pusat akan terus melanjutkan program-program yang sudah ada untuk menanggulangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV dan ODHA antara lain dengan melibatkan komunitas dan juga organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan.

Menanggapi kabar adanya diskriminasi terhadap jenazah ODHA di Surabaya, Nadia mengatakan pihak Kementerian Kesehatan akan mengecek informasi kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya mengenai hal tersebut.

“Karena kalau petugas yang memandikan [jenazah ODHA] memang tidak di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan,” tutur Nadia kepada BBC News Indonesia.

Kementerian Kesehatan, lanjutnya, terus melakukan advokasi ke semua stakeholder – termasuk ke Pemerintah Daerah setempat.

“Seharusnya sudah menjadi tugas Dinas Kesehatan walau tentunya program dari [Pemerintah] Pusat tetap konsisten untuk melakukan advokasi,” ujar Nadia.

Yang terang, Nadia menegaskan orang yang memandikan jenazah ODHA tidak akan terkena HIV dan AIDS selama mengikuti prosedur yang sudah ada.

BBC News Indonesia telah berkali-kali menghubungi pihak Dinas Kesehatan Kota Surabaya untuk memperoleh konfirmasi. Namun, sampai berita ini diturunkan, masih belum memperoleh jawaban.

Seperti apa penanganan jenazah ODHA?

Sebetulnya sudah ada pedoman-pedoman tentang penanganan jenazah ODHA yang aman.

Kementerian Kesehatan melalui dinas Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) pada September 2017 merilis pedoman untuk penanganan jenazah ODHA.

Sosialisasi juga dilaksanakan untuk penanganan jenazah ODHA untuk memastikan jenazah tetap mendapat haknya untuk dikuburkan secara layak sesuai dengan kepercayaan agamanya.

Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, mengonfirmasi keabsahan pedoman tersebut kepada BBC News Indonesia.

“Ini sama seperti memandikan jenazah pada pasien yang menderita penyakit menular melalui darah atau cairan tubuh lainnya,” ujar Nadia.

Pedoman ini disusun setelah dilakukan kegiatan pengamatan dan juga lokakarya yang mengundang para pakar – dan digunakan sebagai acuan bagi para petugas penyelenggaraan jenazah disertai dengan pilihan alternatif yang dapat dilakukan pada kondisi di mana fasilitas tidak memadai.

Dalam pedoman tersebut, Kemenkes menegaskan bahwa HIV-AIDS dapat tertular melalui jenazah melalui darah dan penularannya dapat terjadi melalui jarum suntik yang tidak steril dan hubungan seksual.

Mengutip dari panduan tersebut, ketentuan umum dalam penanganan jenazah ODHA adalah sebagai berikut:

  • Selalu menerapkan kewaspadaan standar yakni memperlakukan semua jenis cairan dan jaringan tubuh jenazah sebagai bahan yang infeksius dengan cara menghindari kontak langsung.
  • Pastikan jenazah sudah didiamkan selama lebih dari dua jam sebelum dilakukan perawatan jenazah
  • Tidak mengabaikan etika, budaya, dan agama yang dianut jenazah.
  • Semua lubang-lubang tubuh ditutup dengan kasa absorben dan diplester kedap air.
  • Badan jenazah harus bersih dan kering.
  • Sebaiknya jenazah yang sudah dibungkus/dikafani/ dipakaikan baju tidak dibuka lagi.
  • Jenazah yang dibalsem atau disuntik untuk pengawetan atau autopsi dilakukan oleh petugas khusus yang terlatih.
  • Autopsi hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pihak berwenang.

Adapun kewaspadaan standar terkait penanganan jenazah ODHA antara lain adalah:

  • Kebersihan tangan/cuci tangan.
  • Pemakaian alat pelindung diri (APD): sarung tangan, masker, pelindung mata, penutup kepala, gaun pelindung, dan sepatu pelindung.
  • Etika batuk untuk melindungi orang sekitar.
  • Pengelolaan linen.
  • Praktek penyuntikan yang aman.
  • Pengelolaan lingkungan.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/01/060000078/saat-jenazah-perempuan-dengan-hiv-ditolak-warga-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke