KOMPAS.com - Ada Tradisi Banyumas yang masih lestari hingga saat ini, antara lain begalan dan cowongan.
Begalan dan cowong masih ditampilkan di masyarakat pada waktu-waktu tertentu.
Selain sebagai bagian dari rangkaian tradisi, pertunjukan begalan dan cowong untuk melestarikan warisan leluhur.
Begalan adalah bagian dari prosesi pernikahan. Begalan berasal dari kata begal, yang artinya perampokan.
Pertunjukan bekalan dimulai dengan munculnya sosok Gunareka dan Rekaguna yang memasuki area pernikahan.
Gunareka membawa umba rampe di dalam pikulan, kemudian dia akan ditantang oleh Rekaguna, pembegal.
Keduanya menerima tantangan dan melakukan tarian peperangan singkat.
Setelahnya, kedua pemeran begalan tersebut akan menyampaikan maksud pertunjukkan dan pesan pernikahan dengan jenaka.
Pertunjukan biasanya diakhir dengan mempersilahkan tamu untuk berebut barang-barang yang dibawa dalam pikulan oleh mempelai laki-laki.
Baca juga: Begalan dalam Tradisi Pernikahan Banyumasan: Asal-usul, Properti, Pelaksanaan dan Makna
Tradisi begalan dilakukan setelah akad nikah atau saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan.
Awalnya pertunjukan begalan untuk pernikahan anak pertama dengan anak pertama, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama dengan anak terakhir.
Ada beberapa alat yang dibawa saat pelaksanaan tradisi begalan, yaitu:
1. Pikulan atau wangkring, maknanya adalah suami istri harus menopang segala kebutuhan dan beban dengan ikhlas dengan kekuatan diri bukan kekuatan orang lain.
2. Ilir (kipas), maknanya adalah sumber angin untuk mendinginkan nasi dan menyalakan tungku. Maksudnya adalah nasihat untuk mendinginkan suasana dan tidak memanas-manasi orang lain.
3. Siwur, maknanya adalah supaya kehidupan rumah tangga tidak dijalani dengan ngawur atau asal-asalan agar dapat hidup berdampingan dengan lingkungannya.
4. Irig atau saringan, maknanya adalah mempelai harus dapat menyaring dan hati-hati dalam menjalani hidup.
5. Kukusan mempunyai filosofi sedulur papat limo pancer mengenai kesadaran spiritual. Mempelai harus menyikapi panasnya gejolak hidup dengan sabar dan mengambil sisi baik untuk mendapatkan kenikmatan hidup.
6. Kekeb atau tembikar penutup penanak nasi, maknanya adalah pasangan harus menutupi aib satu sama lain.
7. Pedaringan atau kendil, maknanya menyimpan pesan bagi istri untuk menyimpan dan memanfaatkan rezeki yang diberikan suami. Istri juga dapat memisahkan kebutuhan dan keinginan.
8. Layah atau ciri, maknanya adalah tempat bercampurnya berbagai rasa layaknya omongan orang tentang pasangan yang pedas bagai sambal yang bisa diwadahi dengan baik maka akan terasa enak.
9. Muthu atau ulekan, maknanya supaya mempelai dapat memecahkan segala masalah sehingga dapat mencapai kenikmatan hidup.
10. Irus, maknanya adalah orang yang berumah tangga harus siap mengolah rasa supaya dapat menjadi pelajaran untuk menumbuhkan kedewasaan.
11. Padi, maknanya berupa kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari serta sifatnya semakin tinggi semakin merunduk.
Baca juga: Mengenal Tradisi Cowongan, Ritual Meminta Hujan di Banyumas: Dari Asal-usul hingga Pelaksanaan
12. Palawija yang terdiri pala gumantung dan pala kependhem yang maknanya supaya tidak menggantungkan hidup kepada orang lain dan harus dapat memendam rasa sakit hati dan tidak menyiman dendam.
Cowongan awalnya adalah salah satu ritual meminta hujan saat kemarau panjang yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas, Cilacap, dan sekitarnya.
Ritual dilakukan ditempat yang dkeramatkan oleh penduduk dan bersama-sama memohon kepada Sang Pencipta untuk menurunkan hujan.
Konon dahulu saat kemarau panjang, ada sepasang suami istri yang sangat tua bernama Ki Jayaraga dan Nyi Jayaraga.
Mereka melakukan tirakat selama 40 hari 40 malam untuk meminta petunjuk kepada Yang Maha Kuasa supaya hujan segera turun.
Setelah tirakat selesai, mereka mendapatkan wangsit untuk segera mmengambil siwur yang terbuat dari batok kelapa dari rumah warga yang di dalamnya terdapat tiga orang janda.
Baru satu malam, siwur tersebut berbicara kepada Nyai Jayaraga untuk didandani seperti seorang wanita dan minta dipanggil Nini Cowong.
Nini Cowong kemudian meminta Ki Jayaraga dan istrinya untuk menggoyang-goyangkannya sambil menyanyi lagu Siwur Tukung.
Setelah satu lagu selesai, terdengar bunyi petir yang sangat keras dan hujan turun dengan lebat selama tujuh hari tujuh malam.
Cowongan hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, terutama saat kemarau panjang.
Tradisi cowongan hingga saat ini masih berjalan terutama di bulan suro atau tahun baru hijriah sebagai bentuk pelestarian peninggalan leluhur.
Tradisi cowongan dilestarikan supaya tidak tergerus perkembangan zaman.
Sumber:
infowisata.purbalinggakab.go.id
buayan.kec-buayan.kebumenkab.go.id
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.