Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Sosialisasi Pemilih Pemula Pemilu 2024 Tergilas Isu Capres

Kompas.com - 20/10/2023, 14:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bagaimana cara memilih calon-calon dalam pemilu?

PERTANYAAN lugas dan sederhana itu disampaikan oleh dua calon pemilih pemula dalam sesi Sosialisasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 oleh penulis dan kolega dosen dari Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Widya Mataram (UWM), Yogyakarta.

Penanya dua remaja perempuan yang terdaftar sebagai calon pemilih di dua desa, yakni Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, dan Desa Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.

Mereka sebagai calon pemilih perdana mengaku awam dan galau menghadapi momentum akbar pesta demokrasi 2024.

“Saya mendengar calon yang dipilih tidak hanya satu ya, Pak? Bagaimana memilih mereka, seperti apa gambarannya?” kata penanya lagi.

Lontaran pertanyaan itu menjadi isyarat bahwa pemilih pemula memerlukan pengetahuan tentang pemilu. Penyelenggara pemilu perlu segera melakukan sosialisasi.

Lima bulan menjelang pemilu serempak 2024, gebyar pemilu masih didominasi intrik-intrik pencalonan presiden-wakil presiden, menggilas sosialisasi teknis pemilihan di kalangan pemilih pemula.

Isu-isu teknis pemilihan sepertinya soal sepele, tetapi substansial. Contohnya, bagaimana pemilih pemula mendapat informasi lengkap dan terukur soal pemilu. Hal itu lepas perhatian dari stakeholders pesta demokrasi lima tahunan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan aparatur pelaksana pemilu di bawahnya.

Dari sejumlah pertanyaan para peserta sosialisasi, ada beberapa aspek memerlukan penjelasan. Selain jadwal pelaksanaan, deskripsi perihal partai dan calon legislatif (caleg), cara memilih, dan prosedur memilih.

Aspek teknik ini terkesan menyederhanakan persoalan pemilu, tetapi kenyataannya dimensi praktis itu menjadi perhatian pemilih pemula melebihi perhatiannya terhadap asas-asas dan aturan pemilu.

Mereka fokus bagaimana cara memilih. Aturan main pesta politik tidak begitu penting di mata mereka.

Metode sosialisasi pemilu bisa ditempuh secara online dan offline. Desiminasi pemilu secara online menggunakan media sosial (medsos) menjadi pilihan logis karena para pemilih pemula hampir seluruhnya mengakses medsos dan media elektronik lain yang berbasis pada internet. Medsos dipadukan dengan media televisi lebih mempertajam sosialisasi.

Dari sosialisasi pemilu di dua desa yang disebut di atas, para pemilih pemula belum fokus untuk mengakses isu-isu pemilu di medsos, media digital, melalui seluler mereka.

Selain persoalan politik tidak terlalu menarik generasi Z, alasan yang lebih mendasar soal kapasitas pengetahuan tentang pemilu yang masih minimalis.

Metode offline sebagai bentuk sosialisasi secara konvensional dengan tatap muka. Pengalaman di lapangan menunjukan, para pemilih pemilu tertarik dengan ornamen-ornamen pemilu yang berwarna dalam bentuk alat peraga.

Menurut mereka, penampilan partai dan calegnya, tata cara memilih dengan gambar berwarna terkesan atraktif dan membantu untuk menangkap pesan tentang teknis pemilu.

Sampel kartu pemilih sebagai atribut pemilu yang menarik perhatian para pemilih pemilu. Mereka kaget ketika ditampilkan setiap pemilih harus memegang lima kartu pemilihan, yang terdiri dari calon legislatif kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, calon senator (Dewan Perwakilan Daerah), dan calon presiden-wakil presiden.

“Calon DPR, DPD jumlahnya banyak? Bagaimana saya harus memilih satu dari mereka? Apa memilih partainya boleh atau memilih orangnya, atau partai dan orangnya?” tanya peserta sosialisasi.

Sebagian besar peserta tidak membayangkan pemilihan calon DPR dan DPD terdapat zonasi sehingga daftar caleg yang dipilih sesuai daerah pemilihan. Pengetahuan ini belum diketahui dalam pemilih pemula.

Desa dan PPS

Ketika proses persiapan sosialisasi, respons desa dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tempat sosialisasi beragam.

Dalam proses kerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan itu, desa dan PPS A lebih responsif, sebaliknya desa dan PPS B responsnya lambat.

Melalui jeda panjang dari awal rencana kerja sama, akhirnya desa B bersedia kerja sama dengan syarat tertentu.

Saat pelaksanaan sosialisasi, desa A melibatkan lurah, PPS dan pengawas, serta jumlah pemilih pemula peserta sosialisasi pemilu relatif banyak.

Sementara sosialisasi di desa B melibatkan lurah, diikuti segelintir peserta, tanpa kehadiran PPS dan pengawas.

Sosialisasi itu berlangsung dua sesi pada Juli 2024. Para pemilih pemula peserta sosialisasi bersuara senada bahwa mereka belum mendapat kegiatan serupa dari desa dan PPS. Mereka tidak mengetahui apakah desa dan PPS menjadwalkan sosialisasi.

Perangkat dari dua desa menyikapi kondisi tersebut terbelah dua juga. Desa A memandang sosialisasi dari dosen-dosen kampus selayaknya ditindaklanjuti dengan sosialisasi berikutnya oleh PPS dan sosialisasi berbasis pada dusun.

Desa B cenderung pasif. Kepala desa mengetahui sosialisasi pemilu merupakan tugas PPS. Apakah perlu lanjutan sosialisasi, kata kepala desa, bola ada di tangan PPS.

Sikap pasif desa B dikaitkan dengan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki program terstruktur dalam sosialisasi pemilu online.

Terdapat kesan, sosialisasi online lebih dari cukup karena para pemilih pemula bisa mengakses melalui perangkat komunikasi pintar yang dimilikinya. Apakah sosialisasi online mengatasi segalanya?

Anggota PPS menyampaikan ke penulis, sosialisasi offline untuk pemilih pemula maupun pemilih lama di dusun-dusun mendesak dilaksanakan karena informasi digital belum tentu sampai ke mereka.

Problemnya, tiga petugas PPS terlalu sedikit untuk menjangkau sejumlah dusun. Kalaupun bisa menjangkau semua dukuh, memerlukan waktu dan anggaran yang memadai karena jarak antardusun relatif jauh dan akomodasi untuk peserta sosialisasi diperlukan untuk konsumsi dan uang transport (apabila anggaran PPS memadai).

Tanpa sosialisasi secara menyeluruh, pengetahuan para peserta pemilih pemula dan warga lebih dominan soal capres-cawapres. Pasalnya, media konvensional, media online dan media sosial lebih banyak mengekspos seputar pencalonan di Pilpres.

Sementara para caleg sangat minim sosialisasi. Informasi soal capres-cawapres mengalahkan informasi tentang teknik pemilihan.

“Ketimpangan informasi” itu menjadi isyarat terdapat problem untuk mencapai proses dan hasil pemilu yang berkualitas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com