Sebab penodaan agama atau penistaan agama di dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini, dianggap tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas.
Yang sering kali terjadi, kata Zainal, polisi mengusut kasus ini “atas desakan masyarakat” dengan dalih “menjaga kondusivitas”.
“Atas nama kondusivitas sering kali melakukan pijakan untuk mengkriminalisasi orang, mereka berpikir itu akan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tapi itu menjadi bola liar bagi orang untuk mengkriminalkan orang lain, membuka ruang lebar untuk memecah masyarakat akibat penistaan agama ini,” kata Zainal.
Baca juga: Ulama hingga Masyarakat Jadi Saksi, Lina Mukherjee Bungkam Usai Sidang
YLBHI juga mengungkapkan bahwa tren kasus penistaan maupun penodaan agama masih marak. Pada tahun 2020, terdapat 67 kasus di Indonesia. Itu belum termasuk kasus-kasus yang mereka pantau pada tahun-tahun setelahnya hingga saat ini.
Dari jumlah kasus yang tercatat pada 2020, mereka juga menemukan tren penggunaan Undang-Undang Informasi Teknologi dan Elektronik (ITE) untuk memidanakan pelaku. Terutama pada kasus-kasus yang mulanya ramai di media sosial, seperti yang terjadi pada Lina.
Kasus penodaan agama, mulanya kerap ditautkan pada pasal 156(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun belakangan, polisi mulai menetapkan kasus penistaan agama menggunakan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi tentang penyebaran informasi berbau kebencian atau permusuhan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
“Sementara pasal ini karet, tidak ada definisi yang jelas, setiap orang bisa menafsirkan dengan bebas,” tutur Zainal.
Baca juga: Saipul Jamil Kunjungi Lina Mukherjee di Penjara, Bawa Ayam Goreng hingga Kerupuk
“Yang sering digunakan oleh kepolisian adalah MUI, fatwa MUI sebagai semacam pembenaran ini masuk atau tidak, boleh atau tidak seseorang dijerat. Ini membahayakan sekali,” sambung dia.
Di dalam KUHP yang baru disahkan pada akhir 2022 lalu pun, pasal terkait penodaan agama “sayangnya belum dihapuskan” meski menurut YLBHI “ada kemajuan” dalam mendefinisikan batasan-batasan tafsirnya.
“Tapi menurut pandangan YLBHI, harapan kami ya tidak perlu diatur ruang soal ini di dalam KUHP,” ujarnya.
“Harusnya polisi bisa mengurusi hal-hal yang lebih penting, lebih fokus mengurus reformasi di tubuh kepolisian ketimbang hal-hal seperti ini,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.