Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, Sabtu 14 November 2015, menyebut bahwa Bireuen memang pernah menjadi ibu kota negara.
Menurut Jusuf Kalla, Ir.Soekarno hijrah Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948 dan mengendalikan pemerintahannya dalam keadaan darurat selama seminggu.
Sebagai catatan, saat itu Bireuen merupakan pusat kemiliteran Aceh yang memiliki letak sangat strategis dalam memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.
Walau begitu, hingga kini masih terdapat perdebatan apakah saat itu Ir.Soekarno benar-benar memindahkan ibu kota negara sementara ke Bireuen atau hanya mengadakan kunjungan kerja biasa.
Kota Bukittinggi pernah berperan sebagai ibu kota negara setelah Yogyakarta diduduki Belanda, terhitung Desember 1948 hingga Juni 1949.
Sebelumnya, Bukittinggi telah berstatus sebagai ibu kota Provinsi Sumatera yang diputuskan pada 9 Agustus 1947.
Saat itu, Kota Bukittinggi ditunjuk sebagai ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pasca Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer Belanda II.
Hal itu diputuskan pada rapat mendesak pada 19 Desember 194 yang dilakukan oleh kabinet di Yogyakarta yang menghasilkan keputusan penting yang tercantum pada pesan kawat.
Pesan kawat tersebut kemudian dikirimkan kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia yang berkedudukan di Bukittinggi, serta Mr. Maramis dan dua tokoh lainnya yang berada di India.
Pesan kawat itu berisi tentang penyerahan mandat untuk memimpin suatu pemerintahan darurat. Namun dalam perjalanannya, mandat lewat surat kawat tersebut tidak benar-benar sampai ke tangan Syafruddin Prawiranegara diakibatkan kekacauan yang terjadi.
Walau begitu, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tetap dibentuk dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua hingga tanggal Ir. Sukarno dan Moh. Hatta kembali ke Yogyakarta.
Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang bersama dengan Kerajaan Belanda tergabung dalam konfederasi Uni Belanda-Indonesia yang diketuai oleh Ratu Belanda.
Republik Indonesia Serikat berdiri pada 27 Desember 1949 dengan beberapa negara bagian, satuan kenegaraan, dan daerah swapraja.
Saat itu, Ir.Soekarno menjabat sebagai Presiden RIS sedangkan Mohammad Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri RIS.
Negara Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian dengan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahannya.