Mereka hanya mengenal garam batangan yang diperoleh dari Long Sebiling, di bagian hulu Malinau.
Untuk mendapatkan garam, mereka menukar dengan damar.
"Akhirnya dicobalah merebus air dari sumur tadi itu. Setelah didinginkan, ternyata jadi garam. Tapi warnanya belum terlalu putih,"sambungnya.
Mengerti cara pembuatan garam, dibuatlah pondok Tudjuk (garam dalam bahasa Lundayeh).
Bangunan sederhana tersebut, mulai dibangun 1978 oleh para warga adat, dan saat ini, menjadi salah satu sumber penghasilan mereka.
Cara memutihkan garam gunung, juga baru ditemukan 1978. Saat itu Pondok Tudjuk yang masih beratapkan daun, terbakar habis.
Hanya menyisakan air dalam kuali yang belum sempat menjadi garam.
"Air itu hitam kotor karena bekas kebakaran. Karena merasa sayang, disaringlah yang kotor itu, dan lanjut direbus agar jadi garam. Ternyata hasilnya bisa putih. Sejak itu, menyuling kotoran air sumur garam dilakukan sebagai cara menghasilkan garam putih bersih seperti sekarang,"kata Simson.
Sampai hari ini, warga Krayan masih terisolasi dan sulit memasarkan garam mereka.
Nihilnya akses darat ke wilayah sekitar, memaksa mereka menjadikan garam sebagai alat barter di negeri tetangga.
Anehnya, garam gunung Krayan dicari-cari dan bahkan chef terkenal di Indonesia, Chef Bara, sering memesan garam gunung Krayan.
Ikuti terus liputan tim Ekspedisi Menjadi Indonesia, episode Kaltara Jantung Borneo dari Malinau menuju Krayan bersama rombongan Gubernur Kaltara Zainal Arifin Paliwang dengan mengklik tautan ini. Tim Kompas.com dalam liputan ini dibekali apparel dari Eiger.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.