Salin Artikel

Kisah Garam Gunung Krayan yang Banyak Dicari, Sulit Dipasarkan karena Akses Jalan Sulit

NUNUKAN, KOMPAS.com - Keberadaan garam gunung di dataran tinggi Krayan, perbatasan RI -Malaysia di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mematahkan peribahasa asam di gunung, garam di lautan.

Krayan memiliki banyak sumur garam yang cara pengolahannya juga cukup unik.

Kalau garam laut dibuat dengan cara dikeringkan di bawah sinar matahari, garam gunung dibuat dengan cara direbus di atas tungku dengan kayu bakar.

Sebenarnya dari mana asal muasal garam gunung Krayan?

Salah satu warga pembuat garam di salah satu sumur garam terbesar di Krayan, Simson, menuturkan, garam di Pa'kebuan, ditemukan leluhurnya pada 1932 silam.

"Dari cerita turun menurun, nenek moyang kami bernama Pangeran, melihat banyak burung Punai berkumpul di sebuah tempat waktu sedang berburu,"ujar Simson, menceritakan kembali riwayat temuan sumber air garam gunung, Selasa (15/8/2023).

Fenomena yang terjadi, berlalu begitu saja saat itu. Namun semakin sering ia melewati tempat yang sama ketika berburu, ia melihat semakin banyak binatang berkumpul di lubang kecil di kawasan tersebut.

Sampai suatu hari, ia melihat seekor tupai yang hinggap di atas pohon, tepat di lokasi berkumpulnya binatang.

Ia pun menyiapkan sumpitnya dan peluru sumpit mengakibatkan tupai terjatuh ke sebuah lubang berisi air.

"Diambillah tupai yang tercebur itu pulang dan diletakkan begitu saja. Besoknya, terdapat serbuk kasar yang membungkus badan tupai,"lanjutnya.

Merasa heran, serbuk kasar itu pun dijilat dan terasa asin. Untuk memastikan dugaannya tak meleset, kembalilah Pangeran ke sumber air garam.

Ternyata, rasa air dalam lubang sedalam 4 meter tersebut asin.

"Akhirnya leluhur Pangeran menebang pohon dan melubangi tengah kayu untuk dimasukkan dalam lubang sumur garam,"katanya lagi.

Sebenarnya, lanjut Simson, pada waktu itu, leluhurnya belum tahu bagaimana mengolah garam.

Sebab, ketika itu, Krayan masih masuk daerah administrasi Kabupaten Bulungan.

Mereka hanya mengenal garam batangan yang diperoleh dari Long Sebiling, di bagian hulu Malinau.

Untuk mendapatkan garam, mereka menukar dengan damar.

"Akhirnya dicobalah merebus air dari sumur tadi itu. Setelah didinginkan, ternyata jadi garam. Tapi warnanya belum terlalu putih,"sambungnya.

Mengerti cara pembuatan garam, dibuatlah pondok Tudjuk (garam dalam bahasa Lundayeh).

Bangunan sederhana tersebut, mulai dibangun 1978 oleh para warga adat, dan saat ini, menjadi salah satu sumber penghasilan mereka.

Cara memutihkan garam gunung, juga baru ditemukan 1978. Saat itu Pondok Tudjuk yang masih beratapkan daun, terbakar habis.

Hanya menyisakan air dalam kuali yang belum sempat menjadi garam.

"Air itu hitam kotor karena bekas kebakaran. Karena merasa sayang, disaringlah yang kotor itu, dan lanjut direbus agar jadi garam. Ternyata hasilnya bisa putih. Sejak itu, menyuling kotoran air sumur garam dilakukan sebagai cara menghasilkan garam putih bersih seperti sekarang,"kata Simson.

Nihilnya akses darat ke wilayah sekitar, memaksa mereka menjadikan garam sebagai alat barter di negeri tetangga.

Anehnya, garam gunung Krayan dicari-cari dan bahkan chef terkenal di Indonesia, Chef Bara, sering memesan garam gunung Krayan.

Ikuti terus liputan tim Ekspedisi Menjadi Indonesia, episode Kaltara Jantung Borneo dari Malinau menuju Krayan bersama rombongan Gubernur Kaltara Zainal Arifin Paliwang dengan mengklik tautan ini. Tim Kompas.com dalam liputan ini dibekali apparel dari Eiger.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/16/102121278/kisah-garam-gunung-krayan-yang-banyak-dicari-sulit-dipasarkan-karena-akses

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke