Bahkan beberapa burung juga ada, mulai pekakak emas, kuau raja, burung takur, rangkong sampai satwa endemik khas Kalimantan, burung enggang.
Keragaman hayati yang menyatu secara alami dengan alam yang lestari ini, kemudian menginisiasi warga adat, menjadikan Tane Olen sebagai destinasi wisata.
Warga bergantian menjaga, dan income dari kunjungan para turis, sebagian masuk dalam kas adat.
"Tapi jangan masuk terlalu jauh kedalaman hutan. Masih ada macan tutul di sana,"Tong Lejau mengingatkan.
Tane Olen yang ada di pelosok desa ini, ternyata sudah sangat terkenal di mancanegara.
Hampir setiap tahunnya, ada kunjungan turis asing. Dari Australia, Inggris dan Portugal.
Tiket masuk juga sangat murah, pengunjung hanya ditarik Rp 5000 perorang.
Warga adat juga menyiapkan sejumlah home stay dalam Tane Olen, tentunya bakal ada biaya tambahan, untuk menginap dan konsumsi.
"Bahan makanan boleh ambil daun daunan atau ikan di sungai. Tidak boleh berburu, dan jangan tinggalkan sampahnya di Tane Olen. Mereka hanya diperbolehkan di areal pinggiran hutan, tidak boleh masuk jauh dalam hutan, demi keamanan mereka sendiri,"kata Tong Lejau.
Layaknya hutan perawan, Tane Olen ditumbuhi banyak pohon raksasa, yang salah satunya adalah meranti kuning. Yang tercatat sebagai pohon nomor 7 paling besar di dunia.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Tong Lejau, merasa berdosa akibat hilangnya tradisi rajah tubuh dan memanjangkan telinga.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Tong Lejau, bersumpah akan menjaga keperawanan Tane Olen, dengan segala daya dan upayanya.
Ia menegaskan tidak akan goyah dengan banyaknya tawaran perusahaan atau pengusaha yang bermimpi bisa mendulang kekayaan Tane Olen.
"Biar bagaimana, Tane Olen adalah pesan terakhir nenek moyang yang wajib kami jaga,"katanya.
Tong Lejau, sempat menunduk dan menerawang saat mencoba melafalkan bunyi wasiat leluhur Oma Lung.
Ada suatu masa, di mana banyak kesulitan terjadi, sampai orang kota akan menjarah makanan demi bertahan hidup.