"Anda ingin memprovokasi warga? Jangan begitu. Hargai upaya PN (Pengadilan Negeri Surabaya), kami di sini hanya mengamankan," ujar Toni.
Kemudian, Armuji bersama rombonganya langsung meninggalkan lokasi eksekusi. Saat berjalan, dia tampak menyapa sejumlah warga yang menjadi korban penggusuran.
Menanggapi hal itu, Kabag Ops Polrestabes Surabaya, AKBP Toni Kasmiri mengatakan, merasa tidak dihargai dengan kedatangan Armuji ketika proses eksekusi hunian warga berjalan.
"Kalau melaksanakan tugas, kita sama-sama Forkopimda Pemkot, Polres, PN, kan memang satu, kenapa (Armuji) menghalangi saya," kata Toni, ketika ditemui saat demo buruh di Gedung Negara Grahadi.
Selain itu, Toni juga mempertanyakan kepentingan Armuji mendatangi lokasi. Seharusnya melihat duduk perkara dahulu, sebelum memberikan pembelaan kepada salah satu pihak.
"Sekarang kepentinganya apa? Mau kampanye kah, mau bela wong cilik kah? Wong cilik yang mana, wong cilik yang tidak taat hukum atau bagaimana," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji mengatakan, baru mengetahui informasi eksekusi hunian sengketa itu Senin (7/8/2023), kemarin.
"(Ketika mendapatkan laporan) saya tanya kepada warga, kenapa sampai dieksekusi. Lalu dia cerita (kronologi) dan sebagainya," kata Armuji.
Baca juga: Bentak Wakil Wali Kota Surabaya Saat Eksekusi 28 Rumah, Kabag Ops Polrestabes: Anda Jangan Halangi
Armuji kemudian berinisiatif mendatangi lokasi eksekusi, untuk melakukan mediasi dengan juru sita PN Surabaya. Sebab, warga sudah berjanji akan pindah setelah mendapatkan tempat tinggal baru.
"Kalau dieksekusi seperti ini, mereka tidak sempat mencari tempat. Ditempatkan dimana juga belum tahu," jelasnya.
"Warga sebenarnya juga mau (pindah). Tadi saya sama juru sita ngomong, enggak usah terlalu dipaksakan dengan cara-cara seperti ini, supaya barang-barangnya nggak rusak," tambahnya.
Kuasa hukum penggugat, Sujianto mengatakan, tanah tersebut pada awalnya merupakan milik Harjo Soerjo Wirjohadipoetro. Pria itu meminta sejumlah orang menempati lokasi, tahun 1978.
"Pemilik asal mempersilakan warga untuk menempati, bukan dijual. Ketika itu (tidak ada perjanjian notaris) hanya secara lisan, disuruh menempati," kata Sujianto, di sekitar lokasi penggusuran.
Namun, Harjo menjual tanah dengan luas 2.962 meter persegi tersebut kepada Sidik Dewanto, pada 7 Agustus 1993. Meski demikian, sejumlah warga masih menempati aset itu.
Kemudian, pernikahan Sidik dengan sang isti, Weni Oentari yang sudah dinikahinya selama 37 tahun kandas. Tanah di kampung Dukuh Pakis tersebut turut dalam perjanjian pembagian harta.