Jarak antar pohon lontar berkisar 20 hingga 30 meter. Ketinggian pohon lontar yang disadap antara 15 sampai 20 meter.
Rik menuturkan, awalnya dia dilahirkan dalam kondisi normal. Matanya tak dapat melihat pada saat dirinya berusia 18 tahun.
Saat itu, Rik sudah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), namun karena masalah ekonomi keluarga, dia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Rik lebih memilih membantu kedua orangtuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya ke jenjang SMP.
Rik masih ingat betul, pada tanggal 3 September 1994, dia baru pulang menjaga mangga miliknya yang sedang berbuah dan dimakan burung Nuri.
"Waktu itu, saya membawa senapan angin dan hendak melewati pintu pagar kebun. Tiba-tiba senapan tersebut meletus dan mata kanan saya tidak bisa melihat hingga berpengaruh ke mata kirinya, sehingga mulai saat itu saya tidak bisa melihat total," ungkap Rik.
"Saya sangat yakin bahwa yang kena mata bukan peluru karena saat itu laras senapan melewati kepala dan darah yang keluar sedikit. Sebulan kemudian mata kiri ikutan sakit dan mulai kabur hingga buta total," sambungnya.
Kondisi fisik yang tak lagi normal, tidak membuat Rik yang saat itu beranjak dewasa putus asa.
Tiga tahun setelah kejadian, ia memutuskan untuk sadap nira lontar guna dimasak menjadi gula dan memelihara ternak (babi).
"Awalnya bapak larang karena saya tidak bisa melihat. Tapi saya minta bantuan ke adik-adik lalu saya mulai iris tuak (sadap lontar). Kebetulan jauh dari rumah jadi tidak diketahui oleh bapak," ungkap dia.
Tak berlangsung lama, aksi itu pun diketahui sang ayah. Meski begitu, sang ayah tidak bisa menghalangi niat Rik hingga saat ini.
"Awal-awal itu memang adik-adik tuntun tapi ketika sudah biasa saya melakukan sendiri," ujarnya.
Baca juga: Perjuangan Bidan Pelosok di Cianjur Terabas Hutan Bantu Persalinan
Rik mengatakan, dia selalu melakukan aktivitas tanpa mengenakan alas kaki dengan tujuan agar bisa merasakan jalan yang ia lalui.