KOMPAS.com - Birunya perairan Laut Banda di Indonesia Timur ternyata menyimpan fakta adanya patahan terbesar di bumi yang bernama Weber Deep.
Dilansir dari laman Live Science, Weber Deep adalah jurang samudra (oceanic abyss) sedalam 7,2 kilometer yang ada di lepas pantai timur Indonesia, tepatnya di Laut Banda.
Uniknya, sebagai sebuah jurang samudra (oceanic abyss), titik terdalam Weber Deep justru tidak berada di dalam palung.
Baca juga: Mengenal Garis Pemisah Fauna di Nusantara: Garis Wallace, Garis Weber, dan Garis Lydekker
Palung samudera adalah jurang terdalam di lautan yang terbentuk akibat subduksi dua lempeng tektonik yang bertabrakan dengan satu lempeng meluncur di bawah yang lain.
Sementara Weber Deep adalah cekungan busur muka (forearc basin) yang pada dasarnya merupakan depresi atau cekungan yang terletak di depan Busur Banda (Banda Arc), sebuah lengkungan yang terbentuk dari rangkaian pulau vulkanik.
Bahkan para ilmuwan yang telah menyadari keberadaan Weber Deep sebelumnya sempat tidak dapat menjelaskan mengapa patahan ini bisa begitu dalam.
Baca juga: 7 Palung Terdalam di Indonesia, Ada yang Mencapai Kedalaman 7.450 Meter
Dilansir dari New Atlas, Jonathan Pownall, peneliti struktur tektonik di The Australian National University (ANU) pada 2016 menyebut bahwa keberadaan Weber Deep tersebut telah diketahui selama 90 tahun.
Namun sampai sekarang belum ada peneliti yang bisa menjelaskan bagaimana jurang itu bisa begitu dalam.
Baca juga: Sejarah Gempa dan Tsunami di Laut Banda, Salah Satunya Gempa Maluku 2023
Para peneliti di ANU memiliki hipotesis bahwa fenomena patahan terbesar di bumi yang bernama Weber Deep disebabkan oleh dua hal.
Pertama, hal ini merupakan tahap akhir dari rollback penunjaman lempengan Banda (Banda slab rollback) yang merupakan proses dimana lempeng subduksi menarik lempeng di atasnya ke arah bawah saat bergerak jatuh ke dalam mantel.
Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya ekstensi di kemudian hari, dan dalam kasus tertentu menimbulkan keretakan ketika lempeng itu ditarik secara terpisah.
Kedua, hal ini disebabkan ekstensi sepanjang patahan yang memiliki sudut rendah yang belum terdokumentasikan.
Hal ini disimpulkan berdasarkan studi dasar laut dan apa yang para peneliti ketahui tentang kondisi geologi kawasan ini.
Sementara konfirmasi keberadaan garis patahan (fault line), dan oleh muncul awal tahun ini ketika Pownall dalam pelayaranya kebetulan menemukan perpanjangan garis patahan di pegunungan pada pulau di Busur Banda.
"Saya tercengang melihat bidang patahan (fault plane) yang dihipotesiskan, kali ini bukan di layar komputer, tapi menyembul di atas ombak," kata Pownall.