Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andreas Lucky Lukwira
Penggiat @Naikumum dan Pengamat Bus

Penggiat @Naikumum dan Pengamat Bus

Paradoks Perlakuan terhadap Mario Dandy dan Pembakar Sekolah di Temanggung

Kompas.com - 05/07/2023, 14:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

R, pelajar SMPN 2 Pringsurat Temanggung, Jawa Tengah, ditangkap aparat Polres Temanggung karena diduga melakukan pembakaran terhadap sekolahnya.

Bocah usia 14 tahun itu diduga melakukan tindak pidana tersebut karena kesal sering di-bully oleh temannya, bahkan ironisnya, juga oleh gurunya.

R ditangkap setelah polisi menemukan sejumlah petunjuk, termasuk video yang memperlihatkan pelaku melakukan pembakaran.

Aksi pembakaran sekolah oleh siswanya tentunya merupakan suatu peristiwa pidana yang perlu diusut dan diproses sesuai aturan, termasuk pengenaan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terhadap tersangka, mengingat usianya masih kategori anak.

Namun, yang menjadi perhatian adalah saat proses rilis yang dilakukan Polres Temanggung dipimpin Kapolres AKBP Agus Puryadi.

Dalam jumpa pers tersebut, selain R ikut ditampilkan (meski wajah ditutupi penutup wajah), pelaku juga dikawal polisi bersenjata laras panjang layaknya pelaku kriminal dengan potensi ancaman tinggi.

Rilis ini menuai banyak kecaman pihak pemerhati anak dan juga lembaga-lembaga perlindungan anak mulai dari LPAI hingga KPAI.

Retno Listyarti, Komisioner KPAI 2017-2022, meminta Itwasum Polri melakukan pengusutan masalah rilis ini.

Hal ini tentunya berbanding terbalik jika melihat rilis kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo. Mario sebagai tersangka memang sama-sama dihadirkan saat jumpa pers. Namun Mario tidak dikawal oleh polisi bersenjata lengkap.

Bahkan polisi yang mengawalnya saat itu merupakan Polwan berpakaian preman. Padahal dari dampak tindak pidana yang dilakukan Mario, ada luka parah yang menyebabkan korban harus dirawat sekian lama.

Apalagi jika melihat rekaman peristiwa, tentunya kita bisa melihat betapa sadisnya Mario saat menganiaya korban.

Saya bukan ahli psikologi. Namun secara kasat mata, kita bisa melihat ekspresi Mario saat jumpa pers tidak ada wajah penyesalan seperti yang ditunjukan Shane Lukas, rekannya yang sama-sama menjadi tersangka.

Mario terlihat menatap lurus ke depan dan berani menatap ke kamera.

Sementara R, jika melihat dampak yang ditimbulkan maupun latar penyebab dilakukannya tindak pidana, tentunya cukup jauh dengan Mario.

R tidak menyebabkan korban luka, apalagi korban jiwa. Alasan yang melatarbelakangi R melakukan tindakan tersebut merupakan alasan yang sebenarnya jamak terjadi, yakni perundungan.

Mario Dandy Satriyo (mengenakan baju oranye), pelaku yang menganiaya pria berinisial D (17) di Kompleks Grand Permata, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Mario dihadirkan dalam konferensi pers di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023).KOMPAS.com/Dzaky Nurcahyo Mario Dandy Satriyo (mengenakan baju oranye), pelaku yang menganiaya pria berinisial D (17) di Kompleks Grand Permata, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Mario dihadirkan dalam konferensi pers di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023).
Kegagalan sekolah sebagai tempat sosialisasi, baik kepada R maupun rekan-rekannya menyebabkan perundungan terjadi dan terus terjadi.

Akibatnya kekesalan menjadi korban perundungan mendorong anak untuk melakukan tindakan pidana.

Maka apa yang dilakukan R, suka tidak suka, ada kegagalan sekolah membentuk siswanya menjadi anak yang bisa saling menghargai satu sama lain. Selain itu, kegagalan sekolah membuat R menjadi anak yang bisa menilai baik-buruknya sebuah perbuatan.

Sekolah yang gagal terlihat pula dari pernyataan Kepsek SMPN 2 Pringsurat Bejo Pranoto yang menyebut R sebagai siswa yang cari perhatian (caper), alih-alih memberikan dukungan psikologis kepada siswanya yang tersangkut masalah hukum.

Kepolisian Resor Temanggung harus melihat secara luas masalah ini. Jangan hanya melihat aspek perbuatan R, melainkan latar belakang terjadinya peristiwa.

Dan lebih-lebih bisa mencari proses pidana yang tepat kepada R agar selain memberikan efek jera, pelaku juga masih bisa melanjutkan masa depannya tanpa ada pengaruh buruk pemidanaan.

Langkah Polres Temanggung dengan tidak melakukan penahanan kepada R sudah tepat, tinggal dicari kemungkinan penyelesaian perkara yang pas.

Selain Polres, Dinas terkait (seperti P2TP2A atau DP3AKB setempat) juga harus mengambil langkah terhadap anak-anak yang terkait kasus ini.

Selain penanganan kepada R, perlu juga ada penanganan kepada rekan-rekan R yang diduga melakukan perundungan.

Termasuk juga perlunya evaluasi terhadap guru-guru SMPN 2 Pringsurat dari Dinas Pendidikan setempat jika memang ada indikasi kegagalan menangani dugaan perundungan di sekolahnya.

Termasuk evaluasi kepada kepala sekolah yang justru semakin memojokkan anak didiknya yang berhadapan dengan hukum.

Kembali ke soal rilis terhadap R, perbandingan terbalik tidak hanya soal siapa dan apa perlengkapan yang mengawal. Ekspresi R pun berbanding terbalik dengan Mario.

Jika wajah Mario bisa menatap lurus, maka R saat rilis terlihat terisak menangis. Ini tentunya tidak baik untuk psikologi anak.

Padahal seperti kita ketahui, Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur petugas yang melakukan pemeriksaan harus berpenampilan ramah anak, di antaranya tidak berpakaian seragam.

Petugas yang mengawal R selain berseragam, juga membawa senjata laras panjang. Ini tentunya tindakan yang berlebihan, terlebih R bukanlah penjahat yang memiliki potensi menimbulkan ancaman kepada petugas yang ada di sekitarnya.

Lain jika R adalah seorang anggota jaringan teror atau gank yang mungkin menimbulkan ancaman kepada petugas.

Maka saran Retno Listyarti agar kepolisian memberikan tindakan terhadap rilis model Polres Temanggung, perlu didengar.

Harapannya, tidak ada lagi tindakan berlebihan dari petugas kepolisian. Cukup sudah kita disuguhi tindakan kepolisian yang berlebih di Kanjuruhan.

Atau di acara-acara reality show TV di mana penjahatnya satu, sementara polisinya banyak. Para polisi itu sampai mengeluarkan senpi seakan pelaku berpotensi membahayakan jiwa petugas atau masyarakat lain.

Jangan ada lagi tindakan kepolisian yang berlebihan, apalagi terhadap anak, termasuk anak yang berkonflik dengan hukum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com