"Dulu nemu bongpay letnan China di Siranda, saya mimpi jalan di perbukitan ada kuburan China gede," bebernya.
"Biasanya itu kalau kita nemu satu bongpay, penemuan berikutnya tak jauh dari lokasi itu. Soalnya kemungkinan di situ juga bekas makam China sebelumnya," ungkapnya.
Sejak 2020 hingga sekarang, Bram dan Pippo telah mengumpulkan ratusan bongpay yang tersebar di seluruh sudut Kota Semarang.
Baginya, hobi tersebut bak mengumpulkan serpihan masa lalu dan menyusun kembali potongan sejarah peranakan Cina di Indonesia.
Biasanya ia membawa pulang bongpay yang ditemukan, kemudian dibersihkan dengan sikat sampai terlihat jelas ukiran nama di atasnya. Sementara Pippo yang akan membaca aksara Cina itu.
Lalu keduanya menyelisik sejarah dari setiap bongpay yang ditemukannya. Mulai dari ukurannya, tahun dibuatnya, ornamen, hingga atribut lainnya yang melekat pada bongpay.
Baca juga: Peringati Pahitnya Tragedi 98, Komunitas Tionghoa Gelar Makan Rujak Pare Sambal Kecombrang
Dari hasil perburuan bongpay selama tiga tahun terakhir, ia mendapati banyak bong atau batu nisan Cina yang masih terpasang di atas tanah di kawasan Makam Bergota.
"Di Bergota masih ada temuan sekitar 20 bong," tuturnya.
Diceritakan, bongpay yang dibuat sekitar 1600-1700 jarang memiliki gambar ornamen di sekeliling nama mendiang. Namun temuan bong tertua di Semarang itu memiliki ornamen.
"Ukuran bong dan ornamen menggambarkan strata sosial. Jadi kemungkinan beliau ini orang berkuasa," tandasnya.
Atas dasar itu, Bram memperkirakan makam Tionghoa sudah ada terlebih dahulu di Bergota sebelum makam lokal di Semarang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.