Salin Artikel

Kisah Penggemar Sejarah Peranakan Tionghoa Temukan Ratusan Batu Nisan China hingga Bongpay Tertua di Semarang

Penggemar Sejarah Peranakan Tionghoa, Bram Luska (37) memperkirakan bongpay tersebut telah ada sejak 1701 silam.

"Kalau dari yang ada di bongpay itu tertulis tahun ular logam pada pemerintahan Kaisar Kangxi bila dikonversi ke tahun Masehi berarti tahun 1701. Kemudian tertulis makam mendiang ayahanda Yan-guan (Yen Kuan) kepala keluarga Wu (Go) dalam tulisan Hanzi," ungkap sang penemu bongpay, Kamis (15/6/2023).

Bongpay dengan panjang 160 cm dan lebar 66 cm itu harus digotong sebanyak enam orang untuk bisa diangkut ke atas mobil pikap. Batu nisan besar itu memiliki ketebalan 19 cm dan diperkirakan beratnya lebih dari 500 kilogram.

Bram menceritakan, awalnya bongpay itu tak sengaja ditemukan di depan halaman rumah teman istrinya pada Desember 2020 lalu.

Ia mendengar, sebelumnya batu nisan itu digunakan warga setempat sebagai jembatan penyeberangan, dan terbengkalai setelah Pemkot Semarang membangun kembali jembatan itu.

"Saya sama temen saya, Mas Pippo Agosto sering blusukan mencari sisa bongpay dan sisa bong yang tersebar di perbukitan Kota Semarang. Untuk melengkapi 'puzzle' sejarah peranakan yang ada di Semarang, dan dari ratusan bongpay yang kita temukan ini bongpay yang paling tua," katanya

Usai menemukan bongpay itu, Bram mengaku sempat bingung untuk menempatkan bongpay itu agar tidak rusak. Ia pun menghubungi Ketua Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang, Harjanto Halim, untuk dimintai pendapat.

Harjanto Halim lalu meminta Bram mengamankan bongpay bersejarah itu di Gedung Rasa Dharma, Jalan Gang Pinggir Nomor 31, Semarang.

"Setelah beberapa waktu, Mount Carmel Memorial Park menawarkan untuk menerima bongpay tersebut, pemakaman memanglah tempat yang lebih sesuai untuk batu nisan," ujarnya.

Menurutnya, barang seperti bongpay tidak semestinya disimpan di rumah. Bersamaan dengan itu, pihaknya bermaksud mengumpulkan barang sejenis di tempat khusus di Mount Carmel sebagai bentuk penghormatan pada leluhur.

Bram mengaku dirinya dan Pippo memang penggemar untuk mencari bongpay. Terlebih jika dilihat dari sejarahnya Kota Semarang memiliki pemakaman cina yang sangat luas khusunya diperbukitannya, mulai dari Bergota, Gayamsari, hingga Kedungmudu.

"Kita dari hobi saja, karena ini kan juga sejarah Tionghoa, terlebih yang berhubungan dengan kuburan ini kok tidak pernah tersentuh padahal itu juga sumber sejarah," tandasnya.

Keduannya sangat menyayangkan temuan serupa jarang mendapat perhatian pemerintah. Padahal ia menilai setiap potongnya sarat akan sejarah.

Tak hanya itu, bahkan tak jarang Bram mendapat petunjuk keberadaan bongpay di suatu tempat melalui mimpi saat tidurnya.

"Dulu nemu bongpay letnan China di Siranda, saya mimpi jalan di perbukitan ada kuburan China gede," bebernya.

"Biasanya itu kalau kita nemu satu bongpay, penemuan berikutnya tak jauh dari lokasi itu. Soalnya kemungkinan di situ juga bekas makam China sebelumnya," ungkapnya.

Sejak 2020 hingga sekarang, Bram dan Pippo telah mengumpulkan ratusan bongpay yang tersebar di seluruh sudut Kota Semarang.

Baginya, hobi tersebut bak mengumpulkan serpihan masa lalu dan menyusun kembali potongan sejarah peranakan Cina di Indonesia.

Biasanya ia membawa pulang bongpay yang ditemukan, kemudian dibersihkan dengan sikat sampai terlihat jelas ukiran nama di atasnya. Sementara Pippo yang akan membaca aksara Cina itu.

Lalu keduanya menyelisik sejarah dari setiap bongpay yang ditemukannya. Mulai dari ukurannya, tahun dibuatnya, ornamen, hingga atribut lainnya yang melekat pada bongpay.

Dari hasil perburuan bongpay selama tiga tahun terakhir, ia mendapati banyak bong atau batu nisan Cina yang masih terpasang di atas tanah di kawasan Makam Bergota.

"Di Bergota masih ada temuan sekitar 20 bong," tuturnya.

Diceritakan, bongpay yang dibuat sekitar 1600-1700 jarang memiliki gambar ornamen di sekeliling nama mendiang. Namun temuan bong tertua di Semarang itu memiliki ornamen.

"Ukuran bong dan ornamen menggambarkan strata sosial. Jadi kemungkinan beliau ini orang berkuasa," tandasnya.

Atas dasar itu, Bram memperkirakan makam Tionghoa sudah ada terlebih dahulu di Bergota sebelum makam lokal di Semarang.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/16/075203978/kisah-penggemar-sejarah-peranakan-tionghoa-temukan-ratusan-batu-nisan-china

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke