Bahkan berkat Assaat, istilah "Paduka Yang Mulia" dihapus dan menggantikan dengan sebutan Bapak atau Ibu karena menurutnya penyebutan itu pada era-era kemerdekaan merupakan paham feodal sedangkan bangsa Indonesia merupakan warga negara yang hidup dalam sebuah republik.
Sampai sekarang, istilah Bapak masih digunakan, sebagai contoh pada penyebutan Bapak Presiden, Bapak Gubernur dan Bapak Bupati
Jabatan tersebut kemudian berakhir setelah pada 15 Agustus 1950, Ir.Soekarno menandatangani UUD Sementara Republik Indonesia, dan dua hari kemudian pada 17 Agustus 1950 RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.
Usai menjabat sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat duduk sebagai anggota DPR-RI dan duduk dalam Kabinet Natsir sebagai Menteri Dalam Negeri sejak September 1950 hingga Maret 1951.
Setelah Kabinet Natsir bubar, Assaat kembali menjadi anggota parlemen selama empat tahun.
Tahun 1955, Assaat menjabat sebagai formatur kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo yang mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Namun, upaya mereka gagal karena secara formal usulan mereka ditolak oleh Parlemen.
Setelah Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin pada 5 Juli 1959, banyak pertentangan bermunculan termasuk oleh Mr. Assaat.
Hal ini karena sistem Demokrasi Terpimpin Bung Karno seakan-akan terlalu condong ke sayap kiri atau Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karena pertentangannya tersebut, Mr. Assaat pun kerap diawasi oleh intelijen Indonesia serta PKI.
Untuk menyelamatkan diri, Mr. Assaat memutuskan untuk pindah ke Sumatera dan berdiam diri selama beberapa hari di Palembang bersama keluarganya.
Saat itu, di Palembang tengah terbentuk Dewan Garuda, Dewan Banteng, dan Dewan Gajah yang sudah dipengaruhi oleh PKI untuk bersatu menentang sistem Demokrasi Terpimpin Bung Karno.
Buntut dari munculnya tiga dewan ini adalah munculnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Mr. Assaat yang waktu itu baru saja sampai di Sumatra Barat juga turut bergabung dengan PRRI.
Hal ini membuat Mr. Assaat kemudian harus berkeliaran di hutan ketika pemerintah mulai menggempur PRRI.
Saat dalam pelarian itulah ia menyadari bahwa kesehatannya memburuk, hingga ditangkap dan dipenjara selama empat tahun, yaitu sejak 1962 hingga 1966.
Mr. Assaat baru dibebaskan setelah terjadi pergantian rezim dari Orde Lama menjadi Orde Baru.
Kemudian pada tanggal 16 Juni 1976, Mr.Assaat wafat di rumahnya di Warung Jati Jakarta Selatan.
Sumber:
ditsmp.kemdikbud.go.id, kebudayaan.kemdikbud.go.id
kompas.com (Penulis : Ari Welianto, Serafica Gischa, Verelladevanka Adryamarthanino, Aswab Nanda Pratama, Editor : Ari Welianto, Serafica Gischa, Nibras Nada Nailufar, Bayu Galih)