Salin Artikel

Mengenal Mr. Assaat, Datuk Mudo Asal yang Pernah Menjadi Pj Presiden Republik Indonesia

KOMPAS.com - Ramai pembicaraan mengenai sosok Mr. Assaat yang disebut pernah menjadi Presiden Republik Indonesia.

Hal ini menuai perdebatan karena nama Mr. Assaat memang tidak tercantum dalam urutan nama Presiden Republik Indonesia yang pernah menjabat pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Hal ini karena saat Mr. Assaat menjabat, wilayah Negara Republik Indonesia merupakan satu dari tujuh negara bagian Republik Indonesia Serikat.

Semantara Mr. Assaat saat itu ditunjuk sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

Siapa Mr. Assaat?

Dilansir dari laman Kemendikbud, Mr. Assaat adalah sosok kelahiran Sumatera Barat, 18 September 1904 yang memiliki gelar kebangsawanan Datuk Mudo.

Riwayat pendidikan Mr. Assaat diawali dari sebuah sekolah agama Adabiah di Padang, dan kemudian melanjutkan pendidikan ke MULO Padang.

Mr. Assaat kemudian pindah ke Batavia untuk melanjutkan studinya ke STOVIA, namun karena ia tidak merasa cocok sebagai seorang dokter maka beliau keluar dan melanjutkan kembali studinya ke Algemeene Middelbare School (AMS).

Setelah lulus dari AMS, beliau melanjutkan pendidikannya dengan masuk ke sekolah hukum yaitu RHS (Rechts Hoge School).

Selama bersekolah di RHS, Mr. Assaat memulai kegiatan politiknya dengan aktif dalam organisasi pergerakan pemuda, yaitu Jong Sumatranen Bond dan menjadi ketua Perhimpunan Pemuda Indonesia.

Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia menyatukan diri dalam Indonesia Muda, Assaat dipilih sebagai Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.

Bahkan meski masih berstatus mahasiswa, Mr. Assaat sudah bergabung dalam Partai Indonesia (Partindo).

Kiprah politiknya juga diketahui oleh pemerintahan Hindia Belanda dan juga pihak sekolah yang menyebabkan pihak sekolah tidak pernah memberikan kelulusan kepada beliau.

Kondisi ini membuat Mr. Assaat kesal sehingga beliau berhenti dari RHS dan melanjutkan studi di bidang hukum ke Belanda di Universitas Leiden.

Setelah menempuh studi hukum di Belanda, beliau akhirnya mendapat gelar Mr. (Meester in de Rechten) atau Sarjana Hukum.

Dilansir dari Kompas.com, Mr. Assaat bekerja sebagai advokat hingga tahun 1942 saat Jepang masuk ke Indonesia, ia diangkat sebagai Camat Gambir dan kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.

Sejak tahun 1948 hingga 1949, Mr. Assaat menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP), dan menjadi ketua KNIP terakhir sampai KNIP dibubarkan tanggal 15 Desember 1949.

Saat Agresi Militer II meletus, Mr. Assaat bersama dengan Soekarno dan Bung Hatta sempat ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Manumbing, Pulau Bangka.

Selepas Agresi Militer II berakhir, Mr. Assaat dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.

Mr.Assaat sebagai Acting President

Dilansir dari laman Kompas.com, hal ini bermula dari sikap Belanda yang terus menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia setelah berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Berbagai kesepakatan ditempuh untuk mendapatkan pengakuan, termasuk di antaranya adalah Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949.

Salah satu hasil Konferensi Meja Bundar yang mengubah status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi sebuah negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS memiliki tujuh negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan.

Selain itu, ada juga sembilan satuan kenegaraan yang berdiri tegak sendiri yakni Jawa Tengah, Belitung, Kalimantan Barat, Daerah Banjar, Kalimantan Timur, Bangka, Riau, Dayak Besar, dan Kalimantan Tenggara.

Selanjutnya, karena keputusan tersebut maka Konstitusi RIS dan UUD 1945 tidak dimungkinkan berlaku secara bersamaan.

Perubahan ini juga mengubah pucuk pimpinan yang berada di Indonesia, dimana Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditunjuk sebagai Presiden dan Perdana Menteri dari RIS.

Hal ini menimbulkan kekosongan pimpinan untuk pemerintahan Negara Republik Indonesia yang memiliki wilayah di Yogyakarta.

Sesuai konstitusi yang ada, jika Presiden dan Wakil Presiden berhalangan dalam memimpin maka semua tanggung jawab dipegang oleh ketua BP – KNIP di mana Mr. Assaat saat waktu itu adalah sosok yang menempati jabatan tersebut.

Maka pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Mr.Assaat sebagai Acting President atau Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia.

Posisi Mr. Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia berlangsung selama 9 bulan, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.

Selama menjabat dan melakukan peran sebagai presiden, Mr. Assaat tak mau dipanggil "Presiden" atau "Paduka Yang Mulia".

Bahkan berkat Assaat, istilah "Paduka Yang Mulia" dihapus dan menggantikan dengan sebutan Bapak atau Ibu karena menurutnya penyebutan itu pada era-era kemerdekaan merupakan paham feodal sedangkan bangsa Indonesia merupakan warga negara yang hidup dalam sebuah republik.

Sampai sekarang, istilah Bapak masih digunakan, sebagai contoh pada penyebutan Bapak Presiden, Bapak Gubernur dan Bapak Bupati

Jabatan tersebut kemudian berakhir setelah pada 15 Agustus 1950, Ir.Soekarno menandatangani UUD Sementara Republik Indonesia, dan dua hari kemudian pada 17 Agustus 1950 RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.

Menjadi Menteri hingga Bergabung dalam PRRI

Usai menjabat sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat duduk sebagai anggota DPR-RI dan duduk dalam Kabinet Natsir sebagai Menteri Dalam Negeri sejak September 1950 hingga Maret 1951.

Setelah Kabinet Natsir bubar, Assaat kembali menjadi anggota parlemen selama empat tahun.

Tahun 1955, Assaat menjabat sebagai formatur kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo yang mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Namun, upaya mereka gagal karena secara formal usulan mereka ditolak oleh Parlemen.

Setelah Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin pada 5 Juli 1959, banyak pertentangan bermunculan termasuk oleh Mr. Assaat.

Hal ini karena sistem Demokrasi Terpimpin Bung Karno seakan-akan terlalu condong ke sayap kiri atau Partai Komunis Indonesia (PKI).

Karena pertentangannya tersebut, Mr. Assaat pun kerap diawasi oleh intelijen Indonesia serta PKI.

Untuk menyelamatkan diri, Mr. Assaat memutuskan untuk pindah ke Sumatera dan berdiam diri selama beberapa hari di Palembang bersama keluarganya.

Saat itu, di Palembang tengah terbentuk Dewan Garuda, Dewan Banteng, dan Dewan Gajah yang sudah dipengaruhi oleh PKI untuk bersatu menentang sistem Demokrasi Terpimpin Bung Karno.

Buntut dari munculnya tiga dewan ini adalah munculnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Mr. Assaat yang waktu itu baru saja sampai di Sumatra Barat juga turut bergabung dengan PRRI.

Hal ini membuat Mr. Assaat kemudian harus berkeliaran di hutan ketika pemerintah mulai menggempur PRRI.

Saat dalam pelarian itulah ia menyadari bahwa kesehatannya memburuk, hingga ditangkap dan dipenjara selama empat tahun, yaitu sejak 1962 hingga 1966.

Mr. Assaat baru dibebaskan setelah terjadi pergantian rezim dari Orde Lama menjadi Orde Baru.

Kemudian pada tanggal 16 Juni 1976, Mr.Assaat wafat di rumahnya di Warung Jati Jakarta Selatan.

Sumber:
ditsmp.kemdikbud.go.id, kebudayaan.kemdikbud.go.id  
kompas.com (Penulis : Ari Welianto, Serafica Gischa, Verelladevanka Adryamarthanino, Aswab Nanda Pratama, Editor : Ari Welianto, Serafica Gischa, Nibras Nada Nailufar, Bayu Galih)

https://regional.kompas.com/read/2023/06/07/224904978/mengenal-mr-assaat-datuk-mudo-asal-yang-pernah-menjadi-pj-presiden-republik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke