NUNUKAN, KOMPAS.com – Banjir tahunan yang disinyalir merupakan banjir kiriman Malaysia, semakin intens terjadi di wilayah desa desa pedalaman di perbatasan RI–Malaysia, khususnya di sejumlah desa di Kecamatan Sembakung, Nunukan, Kalimantan Utara.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nunukan mencatat, intensitas banjir menjadi lebih sering sejak 2021.
Jika sebelumnya banjir kiriman terjadi setahun sekali, saat ini bisa tiga kali terjadi dalam setahun.
Baca juga: Banjir Kiriman Malaysia Mulai Merendam 3 Desa di Perbatasan RI – Malaysia
Terbaru, 28 Mei 2023, banjir menggenangi Desa Atap, Desa Tagul, dan Desa Manuk Bungkul, dengan lebih 200 kepala keluarga terdampak.
BPBD melaporkan, ketinggian air sungai mencapai 4,35 meter dan merendam dua gedung sekolah, gedung desa, Pos Pemadam Kebakaran Sembakung.
Selain itu, sebanyak 4 unit rumah warga tenggelam.
Hasil kajian BPBD Nunukan mencatat, kerusakan hutan akibat pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit ataupun penebangan liar oleh masyarakat, menjadi salah satu faktor.
"Penggundulan atau penebangan hutan, bukan hanya terjadi di wilayah Malaysia. Hutan-hutan kita mulai dibabat untuk membuka lahan perkebunan, baik oleh warga, atau perusahaan kelapa sawit,’’ujar Sekretaris BPBD Nunukan Armansyah.
Baca juga: Kondisi Terkini Banjir di Kota Solo, 15 Kelurahan Terdampak hingga Waspada Banjir Kiriman
Kasus ini pun, kata Armansyah, selalu disuarakan ke pemerintah pusat, mengingat banjir berasal dari negara tetangga.
BPBD memandang perlunya negosiasi dan pembicaraan skala internasional untuk solusi atas masalah tersebut.
Namun demikian, BPBD juga melakukan pemetaan dan sementara ini, telah mengusulkan relokasi bagi sekitar 232 warga yang bermukim di bantaran sungai.
‘’Pemerintah menghibahkan lahan seluas 60 hektar di areal bukit untuk menjadi tempat masyarakat bermukim,’’katanya.
Sebagaimana dijelaskan Arman, salah satu banjir terbesar terjadi pada awal 2021. Banjir yang diyakini masyarakat sebagai banjir kiriman dari Malaysia ini merendam sejumlah desa di Kecamatan Sembakung, yaitu Desa Butas Bagu, Desa Labuk, Desa Pagar, Desa Tujung, Desa Manuk Bungkul, Desa Atap, Desa Lubakan dan Desa Tagul.
Saat itu, ketinggian banjir mencapai 2,1 meter hingga 4 meter. BPBD Nunukan mencatatkan, sebanyak 948 rumah dengan 1.552 kepala keluarga dan 5.682 jiwa terdampak.
Banjir di perbatasan RI–Malaysia ini berasal dari Sungai Talangkai di Sepulut Sabah Malaysia. Banjir kemudian mengalir ke Sungai Pampangon, berlanjut ke Sungai Lagongon ke Pagalungan, masih wilayah Malaysia.
Dari Pagalungan, aliran sungai kemudian memasuki wilayah Indonesia melalui Sungai Labang, Sungai Pensiangan, dan Sungai Sembakung.
‘’Genangan air di wilayah langganan banjir ini cepat naik dan cepat surut. Tapi kerugian akibat banjir, entah itu tanaman, ternak dan kerusakan infrastruktur, menjadi keprihatinan setiap tahunnya,’’kata dia.
Wakil Bupati Nunukan Hanafiah saat dimintai tanggapan atas solusi banjir ‘’kiriman’’ ini juga tidak membantah, bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan di tingkat lokal.
‘’Ini harus bilateral, atau G to G, dan fenomena ini selalu kita suarakan ke pusat. Karena menyangkut dua negara, pemerintah daerah tidak bisa menyelesaikan masalah tingkat pusat,’’ujarnya.
Hanafiah menegaskan, banjir Sungai Sembakung sangat erat kaitannya dengan fenomena alam.
Harus diakui, hulu Sungai Sembakung memiliki dua cabang, di mana cabang sebelah kanan, berhulu di wilayah Malaysia, dan cabang kiri memiliki hulu sungai di Indonesia, atau di kawasan taman nasional yang merupakan kawasan konservasi.
‘’Yang dilakukan Pemkab Nunukan secara konkrit memang belum banyak, tapi secara parsial, kita mempertahankan wilayah DAS Sesayap untuk tetap bisa eksis. Jangan sampai ditambah okupasinya sehingga menimbulkan masalah besar di kita, nantinya,’’jawab Hanafiah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.