Setelah pecahnya kerusuhan Gejayan, pada 20 Mei 1998 Sultan Hamengku Buwono X menggelar Pisowanan Ageng.
Pada waktu Pisowanan Ageng, Sultan turun bersama mahasiswa dan masyarakat di Alun-alun utara.
Pisowanan Ageng ini membuat alun-alun utara dibanjiri manusia, tak hanya alun-alun utara yang sesak dengan manusia kala itu.
Lautan manusia membanjiri sampai area Jalan Malioboro, Jalan Ibu Ruswo, Jalan Kyai Ahmad Dahlan, dan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Baca juga: Sultan Brunei Menginap di Bali Saat KTT ASEAN, Polisi Kerahkan 448 Personel
Turunnya Sultan bersama masyarakat ini tak lepas dari desakan intelektual di Yogyakarta salah satunya yaitu rektor UGM tahun 1998 sampai dengan 2022 Ichlasul Amal.
"Orang-orang penting di Jogja melihat karena adanya dua kerusuhan, situasi tidak kondusif lagi lalu bermaksud membuat seruan untuk itu," kata dia.
Namun, dia tidak mengetahui secara pasti apakah massa yang datang ini diundang secara langsung oeh Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X atau diundang oleh komisariat gerakan mahasiswa.
Menurut dia, Pisowanan Ageng merupakan gabungan ide dari para pemimpin di Yogyakarta, intelektual, dan mahasiswa.
Pisowanan Ageng ini menutu dia adalah peristiwa yang fenomenal, karena pada saat itu hampir tidak mungkin mengerahkan masa sebanyak itu mengingat pergerakan mahasiswa dan masyarakat sangat dbatasi.
"Ketika orang dari berbagai penjuru khususnya kampus berjalan ke arah Keraton, dan penduduk menyediakan makanan dan minuman, itu sebuah gerakan yang fenomenal," ungkapnya.
"Saya beruntung bisa melihat itu secara langsung karena saya ada di dekat pagar Keraton, saya bisa melihat Sultan dan panggung, rektor UGM juga orasi," imbuh dia.
Saat Pisowanan Ageng ini, Sultan menyampaikan beberapa hal namun yang terpenting menurut Agus adalah pertama sudah saatnya Indonesia melakukan pembaharuan.
Kedua, agar rakyat Yogayakarta menjaga kerukuanan dan keamanan.
Sementara itu dikutip dari Harian Kompas (20/5/1998), dalam amanat sambutannya, Sultan HB X mengingatkan bahwa kalau merenungkan sejarah perjuangan bangsa, maka maknanya yang sekarang pantas dipetik adalah, "kembali pada semangat kejuangan Yogyakarta yang dijiwai asas kerakyatan dan laku prasaja (berlaku sederhana. - Red), agar dengan demikian generasi muda calon pemimpin bangsa tetap setia pada semangat kerakyatan dan kesederhanaan itu, yang memang merupakan akar budaya bangsa yang sebenar-benarnya."
Pisowanan Ageng ini menurut Agus memberikan dampak yang besar bagi politik Indonesia.
Saat itu Soeharto masih memperhitungkan posisi Keraton Yogyakarta.
"Bagaimanapun beliau (Soeharto) orang Jawa dan mengerti dunia Keraton," kata dia.
Saat muncul berbagai gerakan di Yogyakarta dan banyak dimuat oleh media massa, membuat Soeharto paham akan situasinya saat itu.
"Gerakan di Jogja secara simbolik dan moral memberikan dampak yang sangat besar pada keputusan yang diambil Pak Harto," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.