Salin Artikel

Kerusuhan Mei 1998 di DI Yogyakarta, dari Peristiwa Gejayan hingga Pisowanan Ageng

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Bulan Mei memiliki sejarah tersendiri bagi Indonesia, tak terkecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Suwignyo menjabarkan peristiwa bersejarah bagi Indonesia itu.

Tahun 1998, pergerakan mahasiswa masih bersifat sporadis di beberapa daerah termasuk di DIY. Dia mengatakan, DIY menjadi salah satu pusat pergerakkan mahasiswa pada tahun 1998.

Tak ada yang menyangka pergerakan mahasiswa yang sporadis ini justru menjadi kekuatan moral dan kekuatan massa yang begitu besar.

Pada waktu itu, gerakan mahasiswa tidak bisa serentak, arena gerakan seperti diisolasi.

Isolasi ini membuat gerakan mahasiswa hanya terpusat di beberapa kota seperti di Jakarta, Bandung dan DI Yogyakarta.

Keterbatasan komunikasi kala itu juga turut membuat gerakan mahasiswa tak bisa menyatu dengan cepat.

"Zaman itu internet sudah ada, HP juga sudah ada. Tapi, masih barang mewah, untuk dialog melalui selebaran," kata Agus, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (13/5/2023).

Pada bulan Mei 1998, pergerakan mahasiswa mulain intensif dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah, termasuk di DIY.

Terdapat kelompok-kelompok koordinasi gerakan Mei 1998 salah satunya Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Ada juga kelompok lain di tiap perguruan tinggi untuk merencanakan gerakan reformasi 1998.

Pada awal 1998, di DIY, telah sering sekali dilakukan pertemuan oleh kelompok-kelompok tersebut. Pertemuan dilakukan di Karangmalang, dan Bulaksumur, Kabupaten Sleman, DIY.

Rapat-rapat dilakukan tiap malam oleh para mahasiswa kala itu. Tempat rapat juga berpindah-pindah mengingat aparat sering membubarkan rapat-rapat yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai universitas.

Ditambah gelanggang mahasiswa markas utama mahasiswa yang berlokasi di kompleks UGM ini sudah dipantau oleh intel.

Tak hanya gelanggang mahasiswa, kantor majalah Balairung juga dipantau oleh intel.

"Hampir tidak mungkin membuat pertemuan di situ," imbuh dia.


Makan korban

Aksi demo di DIY yang besar pecah dua kali dan pada tanggal 8 Mei 1998 memakan korban bernama Mozes Gatotkaca.

"Dua kali di Gejayan, sebelumnya memang sudah ada demo seperti di Bunderan UGM lalu simpang tiga UIN Kalijaga. Itu paling sering dipakai, karena sering dipakai pihak keamanan sudah niteni (diamati)," ujar dia.

Saat itu, Bunderan UGM tidak pernah lepas dari pantauai intel yang bertugas.

Tak hanya di Bunderan UGM, lokasi yang tak lepas dari pengamatan intel adalah simpang tiga UIN Sunan Kalijaga (dulu bernama IAIN).

Kondisi ini membuat para mahasiswa memindah tempat demonstrasi menuntut Soeharto lengser dan dipilih jalan antara Universitas Sanata Dharma dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), ditambah lokasi ini dekat degan sekretariat Smid.

Untuk diketahui, jalan antara Sanata Dharma dan wniversitas ini adalah Jalan Gejayan yang saat ini sudah berganti nama menjadi Jalan Affandi.

"Saat itu, di bunderan sudah enggak mungkin, di UIN juga enggak mungkin. Kumpulnya di Gejayan dekat dengan kantor pos," kata dia.

Kondisi 1998 sangat jauh berbeda jika dibanding era sekarang.

Pada waktu itu dalam mengumpulkan massa aksi, mahasiswa memukul tiang listrik sebagai kode.

"Saya tahu karena pada waktu itu saya ada di tempat fotokopi dekat situ. Habis Juatan ada orang mukul tiang listrik, kok terus nyambung enggak lama masa mahasiswa ngumpul," jelas dia.

Tanggal 8 Mei 1998 demo mahasiswa di Gejayan berakir rusuh. Pot-pot bunga sepanjang jalan Gejayan sampai simpang empat CondongCatur hancur.

"Kaya medan perang saat itu, ada dua kali rusuh sampai kejar-kejaran hancur kedua juga sama," kata dia.

Dia menegaskan, kerusuhan tidak terjadi di simpang tiga Gejayan tetapi di depan Kantor Pos Gejayan.

Kelompok demo sudah berkumpul di area itu lalu dikepung oleh polisi dan tentara di sisi utara dan selatan.

"Tapi kemudian ada massa lain di baliknya lagi. Justru tentara merasa terkepung. Lapisannya demonstran lalu ada tentara dan polisi, utara dan selatan polisi ini ada demonstran, berbalik itu," ujar dia.


Pisowanan ageng

Setelah pecahnya kerusuhan Gejayan, pada 20 Mei 1998 Sultan Hamengku Buwono X menggelar Pisowanan Ageng.

Pada waktu Pisowanan Ageng, Sultan turun bersama mahasiswa dan masyarakat di Alun-alun utara.

Pisowanan Ageng ini membuat alun-alun utara dibanjiri manusia, tak hanya alun-alun utara yang sesak dengan manusia kala itu.

Lautan manusia membanjiri sampai area Jalan Malioboro, Jalan Ibu Ruswo, Jalan Kyai Ahmad Dahlan, dan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Turunnya Sultan bersama masyarakat ini tak lepas dari desakan intelektual di Yogyakarta salah satunya yaitu rektor UGM tahun 1998 sampai dengan 2022 Ichlasul Amal.

"Orang-orang penting di Jogja melihat karena adanya dua kerusuhan, situasi tidak kondusif lagi lalu bermaksud membuat seruan untuk itu," kata dia.

Namun, dia tidak mengetahui secara pasti apakah massa yang datang ini diundang secara langsung oeh Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X atau diundang oleh komisariat gerakan mahasiswa.

Menurut dia, Pisowanan Ageng merupakan gabungan ide dari para pemimpin di Yogyakarta, intelektual, dan mahasiswa.

Pisowanan Ageng ini menutu dia adalah peristiwa yang fenomenal, karena pada saat itu hampir tidak mungkin mengerahkan masa sebanyak itu mengingat pergerakan mahasiswa dan masyarakat sangat dbatasi.

"Ketika orang dari berbagai penjuru khususnya kampus berjalan ke arah Keraton, dan penduduk menyediakan makanan dan minuman, itu sebuah gerakan yang fenomenal," ungkapnya.

"Saya beruntung bisa melihat itu secara langsung karena saya ada di dekat pagar Keraton, saya bisa melihat Sultan dan panggung, rektor UGM juga orasi," imbuh dia.

Saat Pisowanan Ageng ini, Sultan menyampaikan beberapa hal namun yang terpenting menurut Agus adalah pertama sudah saatnya Indonesia melakukan pembaharuan.

Kedua, agar rakyat Yogayakarta menjaga kerukuanan dan keamanan.

Sementara itu dikutip dari Harian Kompas (20/5/1998), dalam amanat sambutannya, Sultan HB X mengingatkan bahwa kalau merenungkan sejarah perjuangan bangsa, maka maknanya yang sekarang pantas dipetik adalah, "kembali pada semangat kejuangan Yogyakarta yang dijiwai asas kerakyatan dan laku prasaja (berlaku sederhana. - Red), agar dengan demikian generasi muda calon pemimpin bangsa tetap setia pada semangat kerakyatan dan kesederhanaan itu, yang memang merupakan akar budaya bangsa yang sebenar-benarnya."

Pisowanan Ageng ini menurut Agus memberikan dampak yang besar bagi politik Indonesia.

Saat itu Soeharto masih memperhitungkan posisi Keraton Yogyakarta.

"Bagaimanapun beliau (Soeharto) orang Jawa dan mengerti dunia Keraton," kata dia.

Saat muncul berbagai gerakan di Yogyakarta dan banyak dimuat oleh media massa, membuat Soeharto paham akan situasinya saat itu.

"Gerakan di Jogja secara simbolik dan moral memberikan dampak yang sangat besar pada keputusan yang diambil Pak Harto," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/05/15/175504978/kerusuhan-mei-1998-di-di-yogyakarta-dari-peristiwa-gejayan-hingga-pisowanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke