SEMARANG, KOMPAS.com-Berbeda dengan pesantren pada umumnya, Pondok Pesantren At-Tauhid di Gayamsari, Semarang sengaja didirikan pada 1998 untuk merehabilitasi para pecandu narkoba dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Pengasuh Pondok, Singgih Pradipta Cahya Nugraha menceritakan awalnya almarhum ayahnya memang membangun pondok untuk belajar mengaji.
"Awalnya sih bapak itu cuma pengen buka pondok yang buat ngaji, majelis taklim lah, dan sholawat nabi. Tapi ternyata kok banyak santri yang punya riwayat penyakit kecanduan, dari narkoba, judi, miras, dan sebagainya,” ungkap lelaki yang akrab disapa Gus Dipta tersebut, Selasa (4/4/2023).
Baca juga: Cerita Gus Tanto, Dirikan Pesantren bagi Preman dan Mantan Napi di Semarang, Pernah Nyaris Dibunuh
Lantaran banyak pihak yang meminta agar anak-anak pecandu narkoba bisa ikut nyantri di sana, pihaknya mengembangkan sejumlah program.
“Pada akhirnya, karena santrinya itu banyak yang kecanduan dan seeking for help (mencari bantuan) biar bisa sembuh, maka tahun 2004 itu diresmikan wali kota sebagai pondok rehabilitasi," terangnya.
Sejak dahulu, ponpes itu menerima santri dari seluruh Indonesia. Gus Dipta bahkan mengaku bila kebanyakan santrinya justru datang dari luar Semarang.
“Usianya macam-macam, mulai dari 15-45 tahun. Kalau dihitung dari tahun 98 mungkin sekitar 14.000 yang sudah lulus dan berhasil sembuh,” tuturnya.
Sementara saat ini ada 30 santri yang bermukim di pesantren, sebanyak 27 santri laki-laki dan 3 santri perempuan. Dalam proses rehabilitasi pun santri dibagi tiga kelas.
"Ada tiga kelas. Bagi pengguna yang menggunakan narkoba golongan 1 dimasukkan ke kelas 1 dengan terapi sesuai kebutuhannya, begitu seterusnya. jadi per kamar itu berbeda, meski kegiatan itu sama, tapi terapi dan pendampingnya berbeda. Yang paling parah itu kelas 1 (golongan zat paling tinggi, sabu, ganja)," paparnya.
Baca juga: Ramadhan 2023 di Masjid Agung Karawang, dari Pesantren Milenial hingga Talkshow Mahasiswa
Dijelaskan, pasien atau santri terbanyak dari kalangan remaja karena mereka cenderung mudah terjerumus dalam pergaulan bebas di masa lalunya.
Meski begitu, sebagian santri juga merupakan kalangan dewasa usia rumah tangga. Biasanya mereka menggunakan narkoba karena masalah keluarga.
“Ada salah satu santri yang putra Habib ikut rawat jalan di sini. Aslinya enggak ada masalah, keluarga semuanya baik, hanya terjerumus salah pergaulan saat kuliah,” katanya.
Sekitar sejumlah terapis menjadwalkan sesi konseling bagi setiap santri di sana. Tak terkecuali bagi mereka yang rawat jalan atau santri kalong. Semua mendapatkan pelayanan yang sama untuk rehabilitasi.
Di samping itu, ia juga menangani seorang ASN berasal dari Tegal yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Lelaki berinisial D (40) itu sebelumnya pernah menjalani rehabilitasi di RSJ Tegal dan Pati, tapi beum berhasil sembuh.
“Ternyata setelah screening bukan hanya pecandu narkoba, tapi pengguna ilmu hitam, ada faktor gaib, makanya sering ngamuk di sini,” katanya.
Bahkan pihaknya menyebut santrinya itu sempat mencoba kabur hingga membakar pintu. Namun kini sudah terkendali dan menjalani terapi pemuluhan pertama.
Bersama kedua kakaknya, Gus Dipta meneruskan perjuangan ayahnya. Ia memahami bila santri yang dihadapi adalah mereka yang sulit mengendalikan emosi.
Tak jarang dirinya harus melerai pertengkaran hingga menanggung perusakan fasilitas yang dilakukan santrinya. Namun dirinya tak pernah marah dan justru menasehatinya dengan santai.
“Anak-anak kaya gitu enggak bisa dimarahin. Kadang saya ajak jajan makan di luar, baru sambil dikasih tau, nanti dia akan intropeksi sendiri,” imbuhnya.
Pihaknya tidak bisa menjamin seberapa cepat pecandu narkoba bisa benar-benar sembuh. Namun ia memiliki progam selama 1 tahun.
"Programnya 1 tahun. 6 bulan pertama itu pemulihan, 6 bulan kedua itu pemantapan. Karena setelah masa pemulihan itu yang paling penting adalah bagaimana setelah rehab itu si anak punya sesuatu yang bisa dikerjakan, ada sesuatu yangg dia senangi, biar mereka bisa move on dari narkoba," ungkapnya.
Gus Dipta memahami bila sang ayah sangat mencintai pondoknya. Maka dari itu ia meneruskan pondok dan menganggap santri sebagaimana anaknya.
“Yang menguatkan saya, saya ingin anak-anak pulih, menjalani hidup dengan penuh berkah, dan jadi orang bermanfaat, karena itu amal jariyah,” tuturnya.
Tak kalah penting, ia terbilang gencar menghadapi masyarakat yang terlanjur memberi label buruk pada mantan pecandu narkoba. Salah satunya dengan melibatkan santrinya dalam kekgiatan sosial dan hadir di tengah masyarakat.
“Kita arahkan anak supaya aktif di masyarakat, seperti aktif yasinan atau tahlilan di kampung, berjamaah ke masjid, ikut kerja bakti, sehingga masyarakat melihat langsung perubahan positifnya,” bebernya.
Ia percaya semua pecandu perlu diberi kesempatan untuk rehablititasi dan diterima kembali di masyarakat. Untun itu, demi mengikis stigma negatif terhadap mantan pecandu narkoba, perlu kepercayaan orangtua dan warga.
“Kami juga laporkan terus progress anak ke orangtua, lalu berdialog supaya mengembalikan kepercayaan mereka ke anak,” tandas Sarjana Hukum Unnes tahun 2018 itu.
Berikutnya pondok menyiapkan santri dengan membekali keterampilan khusus saat lulus. Yakni dengan pelatihan dari Disnaker. Sehingga mereka terarah dan diterima bekerja dengan baik saat lulus nanti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.