"Masyarakat secara spontan memberikan uang Rp 2.000. Kemudian beli telur dan makanan lainnya untuk didistribusikan kepada anak-anaknya stunting. Jadi itu program dari masyarakat, oleh masyarkat dan untuk masyarakat. Mereka kelola sendiri tanpa intervensi dari pemerintah," kata George.
Dari sisi pemerintah pun terus bergerak.
"Kita buatkan susu kelor dan telur itu sudah top. Masalah stunting ini kita anggap serius sehingga ini terus didorong," ujar dia.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Penanganan dan Pencegahan Stunting Provinsi NTT, Sarah Lery Mboeik, mengatakan, angka stunting di NTT yang terdata oleh pihaknya sejak 2018-2022 setiap tahun terus menurun.
Pada tahun 2018, angka stunting di NTT berada pada angka 35.40 persen, kemudian tahun 2019 tercatat 30,07 persen, tahun 2020 pada angka 23,9 persen, selanjutnya tahun 2021 turun menjadi 20,9 persen dan tahun 2022 turun lagi pada angka 17,7 persen.
"Untuk data terbaru 2023 kita belum ambil secara utuh karena baru awal tahun," ujar Sarah, saat ditemui di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Kupang, Jumat (31/3/2023).
Baca juga: Atasi Stunting, Pemkab Nunukan Kucurkan APBD Bantuan Makanan Bergizi
Di NTT lanjut Sarah, ada 21 Kabupaten dan satu Kota dan semuanya tercatat memiliki anak stunting sebanyak 77.338 anak atau 17,7 persen dari total 436.129 anak yang ditimbang.
Data tahun 2022 kata Sarah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki anak stunting tertinggi di NTT dengan angka 11.642 anak atau 28,3 persen, disusul kemudian Kabupaten Sumba Barat Daya, sebanyak 8.270 anak atau 24,3 persen, selanjutnya Kabupaten Kupang 6.118 anak atau 19,9 persen.
Kota Kupang berada di urutan empat terbanyak di NTT yakni 5.947 anak atau 21,5 persen dan urutan lima Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) 5.280 anak atau 24,4 persen. Sedangkan Kabupaten lainnya di bawah 4.000 anak yang stuting.
Khusus Kota Kupang kata Sarah, penyebab stunting, selain kemiskinan, juga karena anak-anak yang cacingan.
Sehingga, ketika makanan yang masuk ke tubuh, gizinya semakin berkurang.
"Penyebab cacingan karena sanitasi buruk dan pasokan air bersih yang kurang," ujar dia.
Menurut Sarah, banyak pihak yang keliru menafsirkan soal penyelesaian masalah stunting dengan pemberian makanan tambahan.
Baca juga: 700 Ibu Hamil di Balikpapan Berpotensi Tinggi Melahirkan Anak Stunting
Padahal, yang lebih penting soal penyediaan air bersih serta sanitasi yang baik.
Sarah menjelaskan, turunnya stunting di NTT selain adanya intervensi dari pemerintah dan berbagai pihak, juga karena pembaruan data dengan mewajibkan semua anak untuk timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
"Kalau dulu, misalkan satu desa ada 100 anak, kemudian yang diukur hanya 10 anak dan 10 anak itu stunting, lalu dianggap di desa itu 100 stunting. Sehingga saat ini, kami dorong dan semua anak diukur, ternyata angkanya turun. Jadi penurunan stunting, karena semua anak diukur,"ujar dia.
Sarah menyebut, operasi timbang, yang dulunya 50-60 persen anak yang ikut, sekarang sudah mencapai 95,8 persen.
Sarah pun mengapresiasi program Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, melalui program tanam jagung panen sapi di sejumlah kantong-kantong stunting di NTT.
Dengan program itu, mulai terlihat ada perubahan khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya.
"Kalau dulu angka stunting di Sumba Barat Daya paling tinggi di NTT, kini sudah mulai berkurang, salah satunya melalui program tanam jagung panen sapi yang dibuat oleh Gubernur NTT," kata Sarah.
Sarah pun mengapresiasi kinerja para petugas dari bagian gizi yang menjangkau kantong - kantong stunting sehingga angkanya terus turun.
Dia berharap, kerja kolaboratif dari semua pihak bisa membuat angka stunting di NTT terus turun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.