Salin Artikel

Cucunya Alami "Stunting", Nenek di Kota Kupang: Kami Tak Pernah Makan Daging, Tak Ada Uang untuk Beli

Mengenakan celana pendek, kaus berwarna hitam, dan tanpa alas kaki, Daniati duduk di kursi plastik berukuran kecil tanpa sandaran, sembari melihat dua cucunya berlari kecil ke luar rumah.

Daniati tinggal bersama sang suami Yakobus Sabneno (60) serta enam orang anaknya dan dua cucu, di rumah sempit berukuran 4x6 meter di pusat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Rumah yang mereka tempati di Kelurahan Nunbaun Sabu, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), terlihat sangat sederhana.

Bangunannya berdinding kayu, beratap seng, dengan lantai semen. Hanya ada dua kamar tidur dan satu ruang tamu.

Pada ruangan tamu, hanya ada tiga kursi plastik berwarna merah, yang terlihat rusak dan nyaris tak bisa digunakan.

Termasuk dua tempat tidur yang hanya bisa digunakan empat orang saja. Terpaksa yang lainnya tidur di kamar tamu, dengan beralaskan tikar.

Bentuk rumah mereka saat ini jauh lebih layak dibandingkan sebelumnya, setelah pemerintah memberi bantuan rumah bagi warga miskin.

Keterbatasan ekonomi

Di keluarga itu, Daniati lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia bekerja membantu menjualkan sayur milik kerabatnya dengan upah Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per hari.

Sedangkan suaminya Yakobus, hingga saat ini belum mendapatkan pekerjaan.

Selain Daniati, putri pertama mereka Mariana Sabneno (30), juga ikut membantu perekonomian keluarga. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Mariana membantu kedua orangtuanya, termasuk menghidupi dua anaknya MS (5) dan KS (3).

Mariana terpaksa menjadi orangtua tunggal karena pria yang menghamilinya tak mau bertanggung jawab.

Dengan penghasilan pas-pasan, kedua anaknya tak mendapat asupan gizi yang lengkap. Hingga akhirnya si bungsu KS dinyatakan dalam kategori anak stunting (kondisi gagal tumbuh pada anak balita).

"Dari dua orang cucu saya, yang bungsu ini KS yang kena stunting," ungkap Daniati Kota Radja, saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Minggu.

Daniati mengaku, penghasilannya dan anaknya hanya cukup untuk membeli beras dan sayur.

Itu pun kadang tidak cukup, sehingga mereka kerap meminta bantuan kerabat terdekat, termasuk majikan tempat Mariana bekerja.

"Setiap hari kami hanya makan nasi dengan sayur. Daging kami tidak pernah makan, karena tidak ada uang untuk beli," ujar Daniati dengan mimik sedih.

Kondisi yang serba sulit itu, sedikit terbantu, setelah keluarga mereka mendapat bantuan dari pemerintah melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yaitu keluarga miskin yang mendapat bantuan sosial.

Melalui PKH, setiap tiga bulan mereka mendapat uang sebanyak Rp 1,6 juta.

Uang sebanyak itu digunakan untuk keperluan makan minum dan juga biaya sekolah anaknya yang lain.

Selain itu, dari pihak Kelurahan dan masyarakat setempat bersama petugas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Alak memberi perhatian khusus kepada anak stunting. Tujuannya untuk perbaikan gizi.

Balita KS (3) mendapatkan bantuan makanan tambahan berupa setengah rak telur, satu bungkus biskuit, dan satu susu formula yang diterima setiap hari Rabu.

Tak hanya itu, masyarakat di Kelurahan Nunbaun Sabu, membuat program khusus untuk penanganan stunting dengan mengumpulkan uang Rp 2.000 per kepala keluarga.

Uang yang terkumpul itu, diserahkan kepada sejumlah kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan digunakan untuk mengolah makanan untuk didistribusikan kepada anak-anak stunting di Kelurahan Nunbaun Sabu.

"Kami memang sangat terbantu dengan bantuan itu, tapi cucu saya ini tidak suka minum susu dan biskuit, sehingga kalau bisa dibuatkan makanan saja supaya bisa makan," kata Daniati.

Daniati berharap, bantuan dari pemerintah itu berlangsung secara rutin, sehingga bisa membantu mengurangi beban hidup mereka.

"Kalau stunting yang terjadi dengan cucu kami ini, kami hanya pasrah saja, karena kondisi kami seperti ini," ujar dia.

Petugas Gizi Puskesmas Alak, Selviana Rotu Ludji, mengatakan, di wilayah Kecamatan Alak tercatat ada 496 anak yang mengalami stunting..

Khusus di Kelurahan Nunbaun Sabu, terdapat 37 anak termasuk KS.

"Angka stunting kita terus menurun karena banyak pihak yang memberikan perhatian. Sebenarnya banyak anak yang sudah tak lagi stunting sehingga mengurangi angka itu," ujar Selviana saat ditemui di Puskesmas Alak.

Menurut Selviana, kenaikan berat badan atau tinggi badan tidak serta merta langsung menjadi penyebab stunting. Ada faktor seperti penyakit penyerta atau intervensi pemberian makanan tambahan.

"Untuk pemberian makanan tambahan, berarti kita hanya menambah yang kurang. Sehingga untuk menaikan secara signifikan tinggi badan tidak serta merta langsung. Cuma selama ini kita cukup banyak berkontribusi, dimulai dengan edukasi," ungkapnya.

Edukasi calon pengantin

Karena kata dia, penurunan angka stunting dimulai dari tindakan pencegahan. 

Untuk pencegahan, pihaknya bekerja sama dengan instansi terkait lainnya melalui edukasi dan penyuluhan terhadap calon pengantin.

Sehingga, ketika masuk dalam masa kehamilan akan dikawal. Edukasi pada ibu hamil pun ditingkatkan melalui kelas ibu hamil, termasuk juga kelas balita.

"Kita mulai banyak edukasi contohnya dari 1.000 hari pertama kehidupan. Bahkan kita memberi penyuluhan saat di Posyandu, tentang bagaimana pemberian makanan yang baik pada bayi dan anak. Dan juga konseling gizi yang kita buka di Puskesmas maupun pada saat di Posyandu,"kata dia.

Penjabat Wali Kota Kupang George Hadjoh, mengatakan, masalah stunting di kota Kupang ditangani dengan sejumlah cara. Satu di antaranya melalui pola orangtua asuh.

Orangtua asuh kata dia, tidak hanya pemerintah, tapi masyarakat yang mampu, perbankan maupun pengusaha dan pihak terkait lainnya.

"Ini yang kita dorong untuk percepatan penangan stunting bisa lebih cepat," kata George, saat wawancarai Kompas.com di Kantor Kelurahan Bakunase II.

George menjelaskan, saat ini Kota Kupang terdapat 2.860 anak yang stunting atau 19 persen. Angka itu menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Data stunting pada bulan timbang Agustus 2022 sebesar 21,5 persen, atau 5.497 anak, turun dari bulan timbang Agustus 2021 sebesar 26,1 persen atau 3.068 anak.

Secara jumlah mengalami peningkatan, namun persentasenya menurun. Hal itu, karena banyak orangtua yang tidak membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang.

Sedangkan di tahun 2022, persentase pengukuran anak sangat tinggi dan naik drastis di bulan timbang Februari 2023.

Persentase timbang bulan Februari 2023 mencapai 93 persen atau 25.000 lebih anak dari 27.000 lebih anak di Kota Kupang.

"Ini yang kita sedang pacu sehingga kita harapkan pada bulan timbang di bulan Agustus 2023 ini bisa turun lebih banyak karena penanganannya sudah berbeda," kata George.

Bahkan kata dia, ada Kecamatan di Kota Kupang yang menggunakan gerakan Rp 2.000 untuk penanganan stunting.

"Masyarakat secara spontan memberikan uang Rp 2.000. Kemudian beli telur dan makanan lainnya untuk didistribusikan kepada anak-anaknya stunting. Jadi itu program dari masyarakat, oleh masyarkat dan untuk masyarakat. Mereka kelola sendiri tanpa intervensi dari pemerintah," kata George.

Dari sisi pemerintah pun terus bergerak.

"Kita buatkan susu kelor dan telur itu sudah top. Masalah stunting ini kita anggap serius sehingga ini terus didorong," ujar dia.

Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Penanganan dan Pencegahan Stunting Provinsi NTT, Sarah Lery Mboeik, mengatakan, angka stunting di NTT yang terdata oleh pihaknya sejak 2018-2022 setiap tahun terus menurun.

Pada tahun 2018, angka stunting di NTT berada pada angka 35.40 persen, kemudian tahun 2019 tercatat 30,07 persen, tahun 2020 pada angka 23,9 persen, selanjutnya tahun 2021 turun menjadi 20,9 persen dan tahun 2022 turun lagi pada angka 17,7 persen.

"Untuk data terbaru 2023 kita belum ambil secara utuh karena baru awal tahun," ujar Sarah, saat ditemui di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Kupang, Jumat (31/3/2023).

Di NTT lanjut Sarah, ada 21 Kabupaten dan satu Kota dan semuanya tercatat memiliki anak stunting sebanyak 77.338 anak atau 17,7 persen dari total 436.129 anak yang ditimbang.

Data tahun 2022 kata Sarah, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki anak stunting tertinggi di NTT dengan angka 11.642 anak atau 28,3 persen, disusul kemudian Kabupaten Sumba Barat Daya, sebanyak 8.270 anak atau 24,3 persen, selanjutnya Kabupaten Kupang 6.118 anak atau 19,9 persen.

Kota Kupang berada di urutan empat terbanyak di NTT yakni 5.947 anak atau 21,5 persen dan urutan lima Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) 5.280 anak atau 24,4 persen. Sedangkan Kabupaten lainnya di bawah 4.000 anak yang stuting.

Khusus Kota Kupang kata Sarah, penyebab stunting, selain kemiskinan, juga karena anak-anak yang cacingan.

Sehingga, ketika makanan yang masuk ke tubuh, gizinya semakin berkurang.

"Penyebab cacingan karena sanitasi buruk dan pasokan air bersih yang kurang," ujar dia.

Menurut Sarah, banyak pihak yang keliru menafsirkan soal penyelesaian masalah stunting dengan pemberian makanan tambahan.

Padahal, yang lebih penting soal penyediaan air bersih serta sanitasi yang baik.

Sarah menjelaskan, turunnya stunting di NTT selain adanya intervensi dari pemerintah dan berbagai pihak, juga karena pembaruan data dengan mewajibkan semua anak untuk timbang berat badan dan ukur tinggi badan.

"Kalau dulu, misalkan satu desa ada 100 anak, kemudian yang diukur hanya 10 anak dan 10 anak itu stunting, lalu dianggap di desa itu 100 stunting. Sehingga saat ini, kami dorong dan semua anak diukur, ternyata angkanya turun. Jadi penurunan stunting, karena semua anak diukur,"ujar dia.

Sarah menyebut, operasi timbang, yang dulunya 50-60 persen anak yang ikut, sekarang sudah mencapai 95,8 persen.

Sarah pun mengapresiasi program Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, melalui program tanam jagung panen sapi di sejumlah kantong-kantong stunting di NTT.

Dengan program itu, mulai terlihat ada perubahan khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya.

"Kalau dulu angka stunting di Sumba Barat Daya paling tinggi di NTT, kini sudah mulai berkurang, salah satunya melalui program tanam jagung panen sapi yang dibuat oleh Gubernur NTT," kata Sarah.

Sarah pun mengapresiasi kinerja para petugas dari bagian gizi yang menjangkau kantong - kantong stunting sehingga angkanya terus turun.

Dia berharap, kerja kolaboratif dari semua pihak bisa membuat angka stunting di NTT terus turun.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/03/092658978/cucunya-alami-stunting-nenek-di-kota-kupang-kami-tak-pernah-makan-daging

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke