Ia melanjutkan, setelah mengikuti pelatihan di Stunting Center of Excellence, para nakes bisa mengaplikasikan ilmu mereka di wilayah masing-masing, sehingga, laju stunting di Manggarai Barat bisa ditekan.
Rina mengaku, penanganan stunting di lapangan tak selamanya berjalan mulus. Selalu ada suka dan duka.
"Sukanya, ya, ketika saat ada sosialisasi atau Posyandu, sasaran datang. Sehingga kita tidak sia-sia turun ke lapangan," ungkapnya.
Di lapangan, kata dia, para nakes selalu belajar dari masyarakat, terus menganalisis kompleksnya masalah stunting. Sebab, satu anak dengan yang lainnya selalu memiliki kasus yang berbeda.
"Ketika melihat Balita stunting yang diintervensi sudah tidak stunting lagi itu merupakan kebahagiaan luar biasa. Ketika ibu hamil melahirkan bayi tidak stunting. Ketika ibu bisa menyusui secara eksklusif selama 6 bulan dan ketika ibu memberikan makanan lokal bergizi bagi bayi sesuai dengan umurnya," imbuh dia.
Baca juga: 3.000 Balita di Magetan Menderita Stunting, Pemkab Anggarkan Rp 800 Juta untuk Beli Susu
Bagi Rina, mengedukasi masyarakat menjadi tantangan besar penanganan stunting selama ini.
Masih banyak masyarakat mempercayai berbagai mitos seperti makan udang membuat tubuh menjadi bungkuk.
Kemudian ada hari-hari yang dianggap pamali untuk memberikan makanan tertentu, dan keyakinan memberikan kopi untuk kekuatan jantung bayi.
"Kami melakukan door to door untuk mengedukasi bersam tim 1.000 Days Fund. Kami edukasi tentang apa stunting, bahaya stunting, dan cara cegahnya. Kita tidak bosan mengedukasi masyarakat untuk mematahkan mitos yang mereka percaya," ungkap dia.
Tantangan lain di lapangan, kata dia, saat edukasi di Balita stunting, ada kebiasaan keluarga tertentu, yang lebih mengutamakan kebutuhan orangtua dibandingkan anak-anaknya.
"Pagi hari, bapak-bapak utamakan kopi dan rokok. Sementara kepenuhan hak balita akan makanan bergizi dikesampingkan. Jadinya, balita sarapan nasi dengan kopi teh dan air sayur. Tidak ada protein hewani dan sebagainya untuk mendukung tumbuh kembang anak," katanya.
Baca juga: Angka Stunting Kota Malang 8,9 Persen, ASN Pemkot Diminta Jadi Orangtua Asuh
Tantangan terberat yang dialami selama di lapangan, dirinya bersama tim ditolak warga saat memberi edukasi pada keluarga dengan anak balita.
"Saat itu kami sweeping balita yang tidak datang posyandu. Orangtuanya memang tidak mau datang posyandu dan tidak mau anaknya diimunisasi karena kepercayaan tertentu," ungkap.
Rina mengklaim, prevalensi stunting di Labuan Bajo selama lima tahun terakhir mengalami penurunan yang signifikan.
Prevalensi stunting di Labuan Bajo tahun 2018 berada di angka 28 persen. Tahun 2019 turun menjadi 23 persen.
Lalu tahun 2020 17,8 persen, tahun 2021 turun jadi 11,7 persen, dan tahun 2022 naik 12,7 persen.
"Per Agustus 2022, kita telah mengukur 4.613 anak diukur di 12 desa. Dari jumlah itu terdapat 588 yang stunting," jelas dia.
Baca juga: Angka Stunting Kota Malang 8,9 Persen, ASN Pemkot Diminta Jadi Orangtua Asuh
Faktor-faktor keluarga stunting yang kerap ditemui di lapangan, antara lain keluarga merokok, bumil kekurangan energi kronis (KEK) tidak mendapatkan asi eksklusif, riwayat kecacingan, tidak punya jamban, dan keluarga atau tetangga TBC.
Pihaknya mengadvokasi pembangunan jamban bagi keluarga yang belum mempunyai jamban. Namun, kadang menemui kendala warga tidak memiliki tanah.