Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Intensitas Hujan Tinggi sebagai Kambing Hitam Bencana

Kompas.com - 07/03/2023, 15:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARU saja diberitakan Metro TV, Senin (06/03/2023), Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, terjadi musibah hidrometeorologi berupa tanah longsor yang menenggelamkan beberapa desa dan menyebabkan korban jiwa.

Badan Penanggulangan Nasional Bencana (BPNB) setempat buru-buru menyatakan bahwa tanah longsor terjadi akibat intensitas hujan yang tinggi.

Dalam banyak kasus bencana hidrometeorologi seperti banjir yang lebih dari sepekan di kota/kabupaten Bekasi Jawa Barat, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati Jawa Tengah, dan bencana banjir bandang lainnya belakangan ini, tingginya intensitas hujan dijadikan kambing hitam penyebab terjadinya bencana hidrometeorologi yang makin masif dan meluas di tanah air. Benarkah demikian?

Pemahaman intensitas hujan

Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam satuan waktu tertentu. Ketika intensitas tinggi, maka berarti hujan lebat.

Intensitas juga dapat menjadi dasar untuk memperkirakan efek hujan seperti banjir, tanah longsor, dan pengaruhnya terhadap makhluk hidup.

Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal.

Normal curah hujan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah (0 – 100 mm), menengah ( 100 – 300 mm), tinggi (300 – 500 mm), dan sangat tinggi (>500 mm).

Contoh konkret adalah banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada tahun baru tanggal 1 Januari 2020.

Dengan intensitas curuh hujan harian ekstrem (377 mm) yang menurut Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tergolong hujan lebat dan sangat lebat (> 300 mm), jelas di luar perkiraan masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Secara empiris, curah hujan pada tahun itu disebut sebagai yang tertinggi sejak 154 tahun yang lalu. Dari pengukuran meteorologi tercatat pertama kali zaman Belanda tahun 1866, hujan tertinggi tahun 1866 hanya 185,1 mm/hari.

Catatan curah hujan terkait banjir besar di Jakarta dari tahun-tahun sebelumnya adalah sebagai berikut ini ;1866: 185,1 mm/hari, 1918: 125,2 mm/hari, 1979: 198 mm/hari, 1996: 216 mm/hari, 2002: 168 mm/hari, 2007: 340 mm/hari, 2008: 250 mm/hari, 2013: > 100m m/hari, 2015: 277 mm/hari, 2016: 100-150 mm/hari, 2020: 377 mm/hari.

Berdasar catatan empiris banjir di Jakarta dapat disimpulkan bahwa tidak hanya intensitas hujan tinggi saja (300 mm) yang menyebabkan banjir, ternyata intensitas hujan yang tergolong menengah juga dapat menyebabkan banjir (100 – 300 mm).

Hanya sekali saja intensitas hujan yang tergolong tinggi (377 mm), yakni awal tahun 2020 yang lalu. Ini membuktikan bahwa intensitas hujan yang termasuk golongan menengah pun juga dapat menyebabkan bencana banjir seperti di Jakarta.

Pengelolaan lingkungan DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung dan 12 DAS lainnya yang sangat buruk dan pemeliharaan drainase yang kurang maksimal, serta kebijakan penataan ruang yang kurang tegas memperparah bencana banjir yang terjadi.

Belajar kasus banjir di Kalimantan Selatan

Awal tahun 2021 lalu, terjadi bencana banjir di Kalimantan Selatan. Dari 13 daerah kabupaten/kota, 11 daerah di antaranya terdampak banjir.

Banjir di Kalsel saat itu tergolong parah dibanding banjir tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah pusat dan daerah secara reaktif memberikan penjelasan penyebab banjir.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Pencermaran dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa faktor dominan penyebab banjir adalah anomali cuaca (hujan ekstrem/intensitas hujan yang tinggi), daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng serta beda tinggi hulu hilir sangat besar.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel mengungkapkan kondisi banjir ini mungkin merupakan periode ulang 100 tahunan.

Apapun faktor penyebabnya, banjir tetap mengikuti kaidah ilmu hidrologi. Air mengikuti mekanisme alur neraca air yang telah diatur oleh alam dan akan mengalir dari daerah ketinggian kearah daerah yang lebih rendah dengan berbagai macam cara.

Banjir terjadi akibat aliran air di permukaan tanah (run off) lebih besar volume dibanding dengan yang berinfiltrasi kedalam tanah.

Dalam konsep pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), air hujan yang jatuh di suatu wilayah daratan akan ditangkap oleh daerah tangkapan air (catchment area) dan dialirkan kesungai utama dan bermuara kelaut.

Konektivitas hulu-hilir DAS menjadi penting karena DAS tidak mengenal wilayah administratif. Meskipun DAS Barito, terdapat dalam wilayah empat provinsi di Kalimantan, namun karena posisi wilayah Kalsel di bagian tengah dan hilir, sementara daerah hulu masuk dalam wilayah Kaltim dan Kalteng, maka apabila terjadi limpasan air dengan volume tinggi, yang paling terdampak banjir adalah daerah Kalsel.

Menjaga tutupan hutan (forest coverage) di daerah hulu dan tengah menjadi suatu keharusan untuk menjaga keseimbangan hidrologis di daerah hilir.

Makin luas tutupan hutannya dan makin rapat pohon serta makin berlapis strata tajuknya, maka makin banyak pula air hujan yang masuk ke dalam tanah.

Kesimpulannya adalah tutupan hutan di daerah hulu DAS Barito merupakan faktor dominan terjadinya banjir di daerah hilir terlepas dari faktor lain yang disebut di atas.

Bagaimana mungkin luas hutan di DAS Barito yang tinggal 18,2 persen, mampu menahan volume hujan ekstrem yang mencapai 8-9 kali lipat curah hujan normal?

Sudah cukupkah luasan tersebut dan berapa persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis DAS Barito/atau Provinsi Kalsel?

Wajar apabila alih fungsi lahan hutan untuk pertambangan dan kebun sawit dituding sebagai faktor penyebab banjir.

Pemerintah seharusnya antisipatif mengkaji ulang izin-izin pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mendukung kelestarian lingkungan sambil menggalakkan program rehabilitasi hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara massal dan masif dan berskala luas sebagai salah satu solusi efektif dan jangka panjang dalam mengendalikan banjir, agar drama banjir di Kalsel tidak berulang kembali.

Banjir di daerah pesisir

Kasus Kabupaten Bekasi, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus merupakan contoh nyata persoalan bencana hidrometeorologi di daerah pesisir di Pulau Jawa yang mulai dirasakan secara signikan dampaknya.

Dengan peningkatan jumlah penduduk yang begitu pesat dengan alih fungsi lahan resapan untuk pemukiman, industri dan infrastruktur yang masif, tanpa dibarengi dengan sistem drainase yang memadai, menyebabkan air hujan yang jatuh kebumi terperangkap dalam satu tempat yang tidak dapat mengalir kemana-mana.

Harian Kompas, Jumat (3/03/2023), memberitakan bahwa “Kabupaten Bekasi Sepekan Direndam Banjir”. Tingginya curah hujan dan buruknya drainase dituding sebagai penyebab terjadinya banjir.

Banjir sepekan tersebut berdampak pada lebih dari 100.000 jiwa dan berbagai aktivitas publik terganggu.

Hunian warga yang terendam air bah di Desa Karangsentosa, Kecamatan Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/3/2023), merendam daerah tersebut sejak Jumat (24/2/2023), dengan ketinggian 30 cm hingga 100 cm.

Banjir yang merendam perumahan selama seminggu itu adalah bencana paling parah dalam lima tahun terakhir di kawasan tersebut.

Banjir di Bekasi tak semata- mata karena curah hujan dengan intensitas tinggi. Banjir juga terjadi lantaran sistem dranaise, mulai dari permukiman, anak sungai, hingga sungai, belum terintegrasi dalam satu sistem dengan baik dan memadai dari hulu hingga hilir.

Persoalan lain adalah pengembang (developer) perumahan baru belum seluruhnya memenuhi pelaksanaan peil (pengaturan ketinggian minimal lantai bangunan berdasarkan lokasi bangunan) banjir dari izin yang dipersyaratkan.

Ringkasanya adalah aturan tata ruang untuk daerah serapan, ruang terbuka hijau (RTH), normalisasi sungai tidak ditaati dan seringkali dilanggar.

Demikian juga dengan daerah hulu, alih fungsi hutan atau tutupan hutan masih sering terjadi, bahkan di kawasan lindung sekalipun.

Upaya pemulihan yang dilakukan di daerah hulu baik melalui pencegahan maupun rehabilitasi dengan revegetasi tanaman kayu-kayuan belum banyak membuahkan hasil meski telah dilakukan selama puluhan tahun.

Intensitas hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor dari banyak faktor yang menyebabkan terjadinya banjir. Lagi pula curah hujan merupakan faktor yang bersifat tetap (konstanta) yang tidak dapat diubah (given).

Sementara faktor lain seperti alih fungsi hutan, tutupan hutan, perlindungan resapan air, ruang terbuka hijau (RTH), pengaturan sistem drainase yang memadai, normalisasi sungai, konsistensi tata ruang dan sejenisnya adalah faktor yang dapat diubah oleh manusia (variabel), kapan dan di manapun dibutuhkan manusia.

Jadi tidak bijak apabila selama ini oleh beberapa pihak, intensitas hujan yang tinggi dikambing hitamkan sebagai faktor tunggal terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Pandangan ini harus segera diubah. Ulah dan faktor manusia yang banyak mengubah bentang alam (landscape) secara masif, sistimatis, massal dan luaslah mulai dari hulu sampai ke hilir yang mendatangkan bencana hidrometeorologi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com