Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Hamidah Saat Ganti Rugi Lahan untuk IKN: Tak Bisa Baca, Hanya Mengangguk Saat Diberi Amplop Berisi Nominal

Kompas.com - 15/02/2023, 07:53 WIB
Zakarias Demon Daton,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com – Kisah Hamidah (60), warga Desa Bumi Harapan yang tak bisa membaca, disodorkan amplop hasil ukur kebunnya dan total uang yang bakal ia terima dari tim penilai ganti rugi lahan ibu kota negara (IKN) di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim).

Petani yang tak baca tulis itu sempat kebingungan saat diminta membuka amplop oleh petugas penilai tanah di kantor Kecamatan Sepaku. Dalam amplop itu tertera nominal uang yang bakal diterima dari ganti rugi kebun beserta tanam tumbuh yang masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.

Saat itu sekitar Desember 2022, Hamidah dan beberapa warga lain yang lahannya masuk KIPP IKN dipanggil ke kantor Kecamatan Sepaku untuk pemberitahuan jumlah uang ganti rugi, setelah dinilai sama tim penilai. Informasi itu diberikan tertutup khusus ke pemilik lahan melalui amplop saat dipanggil satu-satu masuk dalam ruang.

Baca juga: Kisah Hamidah, Petani di IKN yang Kehilangan Kebun dan Rumah, Terpaksa Pindah Tinggal Kabupaten Lain

Giliran Hamidah masuk ruangan sudah ada sekitar empat petugas menunggu. Hamidah disodorkan amplop, diminta membuka dan melihat total uang ganti ruginya. Namun, ia tak bisa membaca, apalagi bertanya, harga per meter. Dia hanya terdiam, mengangguk, dan setuju, meski kebun itu satu-satunya sumber penghasilan untuk dirinya, anak, dan dua cucu selama ini.

Suaminya telah lama meninggal. Dia meminta warga lain membacakan total uang yang tertera dalam amplop itu. Atas permintaan Hamidah, total uang ganti ruginya tak disebutkan dalam berita ini karena pertimbangan tertentu.

“Waktu itu (di kantor Kecamatan Sepaku), masuk ruangan diberi amplop kita enggak tahu harganya berapa. Petugas itu suruh baca, tapi saya tidak bisa baca. Jadi suruh teman saya, namanya kita tidak sekolah, Pak,” cerita Hamidah kepada Kompas.com melalui sambungan seluler, Selasa (14/2/2023).

Hamidah tak bisa menolak, karena takut uangnya bakal dititipkan di Pengadilan, jika tak setuju. Mendengar itu, rata-rata warga takut dan menerima saja tanda setuju.

“Waktu itu teman bacakan segitu harganya, kalau enggak mau ya, sidang (dititip) di Pengadilan. Kami takut jadi terima saja, setuju saja,” ucap Hamidah.

Tetangga Hamidah, Thomy Thomas Tasib, mendengar cerita itu sehari setelahnya dari Hamidah. Namun, Thomy pun tak bisa memberikan solusi, selain khawatir nasibnya bakal sama dengan Hamidah.

Baca juga: Warga IKN Terdampak Proyek Normalisasi Sungai Sepaku, BWS Kalimantan IV: Tidak Ada Relokasi, Hanya Ganti Rugi

Kebun dan rumah Thomy sudah diukur tim penilai. Hanya saja, sampai saat ini, Thomy belum dapat giliran dipanggil ke kantor camat.

Thomy berharap petugas bisa mengubah pola sosialisasi harga satuan ganti rugi lahan IKN dengan mengumumkan secara terbuka.

Hamidah (60), warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, Kaltim yang menjadi lokasi IKN terpaksa pindah dari Sepaku karena kebun dan rumahnya dibebaskan pemerintah. Istimewa Hamidah (60), warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, Kaltim yang menjadi lokasi IKN terpaksa pindah dari Sepaku karena kebun dan rumahnya dibebaskan pemerintah.

Hal itu lebih memudahkan masyarakat mengetahui nilai ganti rugi lahannya, termasuk menyampaikan keberatan atau saran. Pola pemberitahuan yang berjalan tertutup saat ini sangat mengintimidasi warga.

Thomy mengatakan, warga menjadi tak berdaya ketika dipanggil satu-satu masuk ke ruangan, berhadapan dengan petugas. Apalagi, banyak warga yang buta huruf dan tidak paham soal ganti rugi, seperti Hamidah, tentu terintimidasi.

“Umumkan saja terbuka, harga per meter yang sertifikat berapa? Yang segel berapa? Yang tanpa surat-surat berapa, biar semua tahu. Panggil satu-satu (warga) masuk ruangan ini yang repot, kasihan enggak bisa baca tulis kaya Bu Hamidah,” ungkap Thomy.

Wawancara Kompas.com dengan Hamidah harus melalui Thomy. Hamidah tidak punya ponsel. Kompas.com menghubungi Thomy melalui telepon seluler, lalu Thomy membawa ponselnya ke rumah Hamidah yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Hamidah mengeluhkan kehilangan kebunnya, sebagaimana curhatannya ke Thomy.

Baca juga: Proyek Normalisasi Sungai Sepaku di IKN, Puluhan Rumah Warga Bakal Tergusur

Camat Sepaku Waluyo mengaku tidak mengetahui pola pemberitahuan nilai ganti rugi lahan warga yang dilakukan secara tertutup.

“Saya ini baru menjabat (camat), jadi belum dampingi secara langsung pembebasan lahan warga. Jadi saya enggak tahu pola sebelumnya, mungkin camat lama tahu. Nanti tahap selanjutnya ini baru saya dampingi," kata dia.

Pun, kata dia, sejak menjabat sebagai camat warga belum menyampaikan keluhan itu ke dirinya.

Pasrah terima ganti rugi

Sejak kebun miliknya dibebaskan, Hamidah kini menganggur di rumah. Dia mengeluh tak ada lagi penghasilan setelah kebun satu-satunya itu diambil pemerintah untuk IKN.

Sementara itu, ia harus menghidupi anak perempuan semata wayang dan dua cucunya. Putrinya itu sudah cerai dengan suaminya. Kebutuhan putrinya dan keduanya jadi tanggungan Hamidah.

Saat di kantor camat, Hamidah tak punya pengetahuan yang cukup untuk meminta kebunnya diganti lahan baru saat berhadapan dengan petugas, Desember lalu.

Baca juga: Cerita Warga di IKN, Tak Tahu Harga Ganti Rugi hingga Terpaksa Serahkan Lahannya kepada Pemerintah

Hal itu diatur dalam Pasal 76 Peraturan Pemerintah (PP) 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Bahwa ganti rugi lahan tak hanya berupa uang, bisa berupa tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Hamidah mengaku tidak berani minta lahan jika sendirian. "Semua terima duit, saya pun ikut. Enggak berani minta lahan, Pak, apalagi saya sendiri," kata dia.

Soal tawaran ganti lahan, kata Thomy, pernah disosialisasikan di awal-awal usai batas KIPP dipatok. Thomy mengaku rutin mengikuti pertemuan sebagai warga terdampak KIPP sehingga mengetahui informasi itu.

Namun, menurut Thomy, sampai saat ini tidak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga yang kehilangan lahannya untuk KIPP IKN alias omong kosong.

"Mana lahannya? Enggak ada. Ibu Hamidah itu menjadi contoh, terpaksa meninggalkan kampungnya (di lokasi IKN) karena kehilangan lahan,” ungkap Thomy sedikit kesal.

Baca juga: Cerita Kades di Sekitaran IKN, Mengaku Didatangi Aparat Usai Laporkan Tambang Ilegal

"Kami sudah tanya lahannya saat musyawarah tapi jawaban petugas kadang engga nyambung. Kalau begitu malas sudah warga bertanya," tambah dia.

Thomy mengatakan karena minim pendidikan, rata-rata warga yang terkena dampak KIPP bersikap sama seperti Hamidah, pasrah terima keputusan soal nilai ganti rugi lahan, tanpa negosiasi. Terlebih, saat diberitahu petugas jika menolak uangnya dititip di Pengadilan. Bagi Thomy, itu seperti intimidasi.

“Kasihan sekali nasib bu Hamidah. Kebun sudah diambil. Tinggal rumah satu-satunya ibu ini. Itu pun mau diambil juga (dibebaskan). Ibu Hamidah ini masih bertahan sementara saja, kalau sudah dibayar rumahnya, dia mau pindah enggak tinggal di sini lagi,” pungkas Thomy.

Pindah ke kabupaten lain

Kini, Hamidah tak punya penghasilan apa-apa. Suaminya telah lama meninggal. Ia tinggal bersama anak perempuan yang juga cerai suaminya dan dua cucu. Hamidah mengandalkan uang ganti rugi yang diberikan pemerintah untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kita sekarang usaha enggak bisa, panen sawit enggak bisa, apa-apa enggak bisa. Enggak ada lagi penghasilan, dari mana lagi. Mau kerja ke mana, mau panen apa," keluh Hamidah.

Hamidah berencana keluar dari lokasi IKN, pindah ke kabupaten lain untuk memulai kehidupan baru. Uang ganti rugi yang diterima, bakal ia gunakan membeli lahan baru di Grogot, Kabupaten Paser, tempat tinggal orangtuanya dulu.

Baca juga: Progres Bendungan Sepaku Semoi Pemasok Air ke IKN Sudah 85 Persen, Target Juni 2023 Mulai Operasi

Sebab, ia tak mampu membeli harga lahan di sekitar IKN sudah melonjak tinggi hingga Rp 2 juta-Rp 3 juta per meter, sedangkan harga ganti rugi lahan warga hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter persegi.

Kini, Hamidah hanya menunggu pembayaran rumah dan lahan yang ia tempati. Tim penilai pembebasan lahan KIPP IKN sudah mengukur lahan di rumah Hamidah dengan luas sekitar 400 meter persegi. Hamidah belum mengetahui total ganti rumahnya itu.

“Setelah pemerintah bayar rumah ini baru kami pindah ke tinggal di Grogot. Menetap di sana,” kata dia.

Thomy khawatir mengalami nasib seperti Hamidah. Sebab, kebun miliknya seluas 13.880 meter persegi yang sudah bersertifikat dan lahan rumah seluas 917 meter persegi juga hendak dibebaskan pemerintah dan terancam kehilangan tempat tinggal.

“Tapi warga masih protes soal harga ganti rugi, makanya sempat setop setelah Bu Hamidah mereka terima (duit). Saya belum dapat giliran, kalau harga enggak sesuai saya minta ganti lahan aja," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prakiraan Cuaca Batam Hari Ini Kamis 9 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Berawan

Prakiraan Cuaca Batam Hari Ini Kamis 9 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Berawan

Regional
Prakiraan Cuaca Balikpapan Hari Ini Kamis 9 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Balikpapan Hari Ini Kamis 9 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Hujan Ringan

Regional
Prakiraan Cuaca Morowali Hari Ini Kamis 9 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Hujan Sedang

Prakiraan Cuaca Morowali Hari Ini Kamis 9 Mei 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Hujan Sedang

Regional
Banjir dan Longsor Landa Pinrang, Satu Warga Tewas, Sejumlah Rumah Warga Ambruk

Banjir dan Longsor Landa Pinrang, Satu Warga Tewas, Sejumlah Rumah Warga Ambruk

Regional
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien, Pelaku Serahkan Uang Damai Rp 350 Juta ke Korban

Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien, Pelaku Serahkan Uang Damai Rp 350 Juta ke Korban

Regional
UNESCO Tetapkan Arsip Indarung I Semen Padang Jadi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific

UNESCO Tetapkan Arsip Indarung I Semen Padang Jadi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific

Regional
Golkar Buka Peluang Majunya Raffi Ahmad di Pilkada Jateng

Golkar Buka Peluang Majunya Raffi Ahmad di Pilkada Jateng

Regional
Mantan Gubernur Babel Maju Periode Kedua Usai 'Video Call' dengan Gerindra

Mantan Gubernur Babel Maju Periode Kedua Usai "Video Call" dengan Gerindra

Regional
Kisah Istri Berusia 19 Tahun di Karimun yang Tewas Dibunuh Suami dengan Batang Sikat Gigi

Kisah Istri Berusia 19 Tahun di Karimun yang Tewas Dibunuh Suami dengan Batang Sikat Gigi

Regional
Terluka akibat Terperangkap di Pohon, Seekor Monyet di Salatiga Diserahkan ke BKSDA Jateng

Terluka akibat Terperangkap di Pohon, Seekor Monyet di Salatiga Diserahkan ke BKSDA Jateng

Regional
Maju Pilkada Blora, Politikus NasDem Mendaftar ke Gerindra

Maju Pilkada Blora, Politikus NasDem Mendaftar ke Gerindra

Regional
Kebakaran Pemukiman Nelayan di Pesisir Pulau Sebatik, 29 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Kebakaran Pemukiman Nelayan di Pesisir Pulau Sebatik, 29 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Regional
Kecanduan Judi Online, Pasutri di Kubu Raya Nekat Mencuri di Minimarket

Kecanduan Judi Online, Pasutri di Kubu Raya Nekat Mencuri di Minimarket

Regional
DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

Regional
Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com