Salin Artikel

Cerita Hamidah Saat Ganti Rugi Lahan untuk IKN: Tak Bisa Baca, Hanya Mengangguk Saat Diberi Amplop Berisi Nominal

Petani yang tak baca tulis itu sempat kebingungan saat diminta membuka amplop oleh petugas penilai tanah di kantor Kecamatan Sepaku. Dalam amplop itu tertera nominal uang yang bakal diterima dari ganti rugi kebun beserta tanam tumbuh yang masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.

Saat itu sekitar Desember 2022, Hamidah dan beberapa warga lain yang lahannya masuk KIPP IKN dipanggil ke kantor Kecamatan Sepaku untuk pemberitahuan jumlah uang ganti rugi, setelah dinilai sama tim penilai. Informasi itu diberikan tertutup khusus ke pemilik lahan melalui amplop saat dipanggil satu-satu masuk dalam ruang.

Giliran Hamidah masuk ruangan sudah ada sekitar empat petugas menunggu. Hamidah disodorkan amplop, diminta membuka dan melihat total uang ganti ruginya. Namun, ia tak bisa membaca, apalagi bertanya, harga per meter. Dia hanya terdiam, mengangguk, dan setuju, meski kebun itu satu-satunya sumber penghasilan untuk dirinya, anak, dan dua cucu selama ini.

Suaminya telah lama meninggal. Dia meminta warga lain membacakan total uang yang tertera dalam amplop itu. Atas permintaan Hamidah, total uang ganti ruginya tak disebutkan dalam berita ini karena pertimbangan tertentu.

Hamidah tak bisa menolak, karena takut uangnya bakal dititipkan di Pengadilan, jika tak setuju. Mendengar itu, rata-rata warga takut dan menerima saja tanda setuju.

“Waktu itu teman bacakan segitu harganya, kalau enggak mau ya, sidang (dititip) di Pengadilan. Kami takut jadi terima saja, setuju saja,” ucap Hamidah.

Tetangga Hamidah, Thomy Thomas Tasib, mendengar cerita itu sehari setelahnya dari Hamidah. Namun, Thomy pun tak bisa memberikan solusi, selain khawatir nasibnya bakal sama dengan Hamidah.

Kebun dan rumah Thomy sudah diukur tim penilai. Hanya saja, sampai saat ini, Thomy belum dapat giliran dipanggil ke kantor camat.

Thomy berharap petugas bisa mengubah pola sosialisasi harga satuan ganti rugi lahan IKN dengan mengumumkan secara terbuka.

Hal itu lebih memudahkan masyarakat mengetahui nilai ganti rugi lahannya, termasuk menyampaikan keberatan atau saran. Pola pemberitahuan yang berjalan tertutup saat ini sangat mengintimidasi warga.

Thomy mengatakan, warga menjadi tak berdaya ketika dipanggil satu-satu masuk ke ruangan, berhadapan dengan petugas. Apalagi, banyak warga yang buta huruf dan tidak paham soal ganti rugi, seperti Hamidah, tentu terintimidasi.

“Umumkan saja terbuka, harga per meter yang sertifikat berapa? Yang segel berapa? Yang tanpa surat-surat berapa, biar semua tahu. Panggil satu-satu (warga) masuk ruangan ini yang repot, kasihan enggak bisa baca tulis kaya Bu Hamidah,” ungkap Thomy.

Wawancara Kompas.com dengan Hamidah harus melalui Thomy. Hamidah tidak punya ponsel. Kompas.com menghubungi Thomy melalui telepon seluler, lalu Thomy membawa ponselnya ke rumah Hamidah yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Hamidah mengeluhkan kehilangan kebunnya, sebagaimana curhatannya ke Thomy.

Camat Sepaku Waluyo mengaku tidak mengetahui pola pemberitahuan nilai ganti rugi lahan warga yang dilakukan secara tertutup.

“Saya ini baru menjabat (camat), jadi belum dampingi secara langsung pembebasan lahan warga. Jadi saya enggak tahu pola sebelumnya, mungkin camat lama tahu. Nanti tahap selanjutnya ini baru saya dampingi," kata dia.

Pun, kata dia, sejak menjabat sebagai camat warga belum menyampaikan keluhan itu ke dirinya.

Pasrah terima ganti rugi

Sejak kebun miliknya dibebaskan, Hamidah kini menganggur di rumah. Dia mengeluh tak ada lagi penghasilan setelah kebun satu-satunya itu diambil pemerintah untuk IKN.

Sementara itu, ia harus menghidupi anak perempuan semata wayang dan dua cucunya. Putrinya itu sudah cerai dengan suaminya. Kebutuhan putrinya dan keduanya jadi tanggungan Hamidah.

Saat di kantor camat, Hamidah tak punya pengetahuan yang cukup untuk meminta kebunnya diganti lahan baru saat berhadapan dengan petugas, Desember lalu.

Hal itu diatur dalam Pasal 76 Peraturan Pemerintah (PP) 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Bahwa ganti rugi lahan tak hanya berupa uang, bisa berupa tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Hamidah mengaku tidak berani minta lahan jika sendirian. "Semua terima duit, saya pun ikut. Enggak berani minta lahan, Pak, apalagi saya sendiri," kata dia.

Soal tawaran ganti lahan, kata Thomy, pernah disosialisasikan di awal-awal usai batas KIPP dipatok. Thomy mengaku rutin mengikuti pertemuan sebagai warga terdampak KIPP sehingga mengetahui informasi itu.

Namun, menurut Thomy, sampai saat ini tidak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga yang kehilangan lahannya untuk KIPP IKN alias omong kosong.

"Mana lahannya? Enggak ada. Ibu Hamidah itu menjadi contoh, terpaksa meninggalkan kampungnya (di lokasi IKN) karena kehilangan lahan,” ungkap Thomy sedikit kesal.

"Kami sudah tanya lahannya saat musyawarah tapi jawaban petugas kadang engga nyambung. Kalau begitu malas sudah warga bertanya," tambah dia.

Thomy mengatakan karena minim pendidikan, rata-rata warga yang terkena dampak KIPP bersikap sama seperti Hamidah, pasrah terima keputusan soal nilai ganti rugi lahan, tanpa negosiasi. Terlebih, saat diberitahu petugas jika menolak uangnya dititip di Pengadilan. Bagi Thomy, itu seperti intimidasi.

“Kasihan sekali nasib bu Hamidah. Kebun sudah diambil. Tinggal rumah satu-satunya ibu ini. Itu pun mau diambil juga (dibebaskan). Ibu Hamidah ini masih bertahan sementara saja, kalau sudah dibayar rumahnya, dia mau pindah enggak tinggal di sini lagi,” pungkas Thomy.

Pindah ke kabupaten lain

Kini, Hamidah tak punya penghasilan apa-apa. Suaminya telah lama meninggal. Ia tinggal bersama anak perempuan yang juga cerai suaminya dan dua cucu. Hamidah mengandalkan uang ganti rugi yang diberikan pemerintah untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kita sekarang usaha enggak bisa, panen sawit enggak bisa, apa-apa enggak bisa. Enggak ada lagi penghasilan, dari mana lagi. Mau kerja ke mana, mau panen apa," keluh Hamidah.

Hamidah berencana keluar dari lokasi IKN, pindah ke kabupaten lain untuk memulai kehidupan baru. Uang ganti rugi yang diterima, bakal ia gunakan membeli lahan baru di Grogot, Kabupaten Paser, tempat tinggal orangtuanya dulu.

Sebab, ia tak mampu membeli harga lahan di sekitar IKN sudah melonjak tinggi hingga Rp 2 juta-Rp 3 juta per meter, sedangkan harga ganti rugi lahan warga hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter persegi.

Kini, Hamidah hanya menunggu pembayaran rumah dan lahan yang ia tempati. Tim penilai pembebasan lahan KIPP IKN sudah mengukur lahan di rumah Hamidah dengan luas sekitar 400 meter persegi. Hamidah belum mengetahui total ganti rumahnya itu.

“Setelah pemerintah bayar rumah ini baru kami pindah ke tinggal di Grogot. Menetap di sana,” kata dia.

Thomy khawatir mengalami nasib seperti Hamidah. Sebab, kebun miliknya seluas 13.880 meter persegi yang sudah bersertifikat dan lahan rumah seluas 917 meter persegi juga hendak dibebaskan pemerintah dan terancam kehilangan tempat tinggal.

“Tapi warga masih protes soal harga ganti rugi, makanya sempat setop setelah Bu Hamidah mereka terima (duit). Saya belum dapat giliran, kalau harga enggak sesuai saya minta ganti lahan aja," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/02/15/075333678/cerita-hamidah-saat-ganti-rugi-lahan-untuk-ikn-tak-bisa-baca-hanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke