Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hery Wibowo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Pembangunan Sosial, Rasionalisme, dan Antagonisme Kasus Pandeglang

Kompas.com - 13/02/2023, 15:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUBLIK Indonesia kembali dikagetkan dengan kasus pembunuhan sadis wanita muda oleh mantan pacarnya.

Dugaan kuat yang mengemuka adalah pembunuhan dilatarbelakangi rasa sakit hati yang mendalam, ditolak menjadi pacar kembali, sehingga pelaku tega membunuh menggunakan kepingan keramik kloset.

Sungguh menyesakkan dada, mengenaskan, dan memprihatinkan. Sungguh ini bukan berita biasa dan remeh temeh. Ini adalah berita pembunuhan antaranak bangsa yang masih remaja belia (yang terus berulang).

Inilah zaman di mana nyawa manusia seakan sangat murah harganya, dan aktivitas membunuh seakan sudah biasa. Membunuh seakan solusi instan dari masalah emosi (sesaat) yang tidak terkendali.

Lensa sosiologi menelaah dengan cara ’seeing the general in the particular’. Artinya jika melihat satu kasus individu ini, maka yakinlah ini bukan satu-satunya, serta tidak seutuhnya merupakan kasuistik individual.

Aksi tersebut, seyogianya merupakan cerminan umum dari kondisi masyarakat. Sehingga butuh telaah mendalam terhadap perilaku bermasyarakat untuk mampu mengkaji secara mendalam perilaku individu di dalam masyarakat.

Kesadaran kolektif

Durkheim (dalam Osborne dan Boon, 2004) menjelaskan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial.

Menurut dia, sistem sosial (atau masyarakat itu sendiri) merupakan entitas moral. Maka masyarakat merupakan akumulasi kesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat.

Melalui pemahaman ini, maka kita seyogianya dapat mulai berpikir bahwa ketika aksi kekerasan atau bahkan pembunuhan semakin marak dilakukan anggota masyarakat, maka diperlukan perhatian khusus terhadap apa dan bagaimanakah masyarakat tempat kita tinggal dan hidup ini?

Sehingga, sekali lagi, seyogianya pemahaman tentang hal ini dapat menjadi titik berangkat untuk membangun masyarakat yang dapat menjadi sumber pengaruh perilaku positif bagi individu di dalamnya.

Ini adalah petunjuk untuk kita sebagai bangsa mulai melangkah dan mengambil tindakan khusus untuk mencegah aksi kekerasan selanjutnya terjadi pada generasi muda bangsa.

Pembunuhan antarremaja, apalagi disebabkan oleh sakit hati, jelas bukan kasus ringan dan remeh. Sangat mungkin ini adalah gunung es dari ribuan peristiwa lain yang tidak tersorot media, atau bahkan disembunyikan dari keluarga.

Seluruh komponen bangsa Indonesia, tidak boleh lengah untuk mencegah dan memproteksi agar kasus pembunuhan antargenerasi muda nusantara terjadi di kemudian hari.

Apakah kita akan terus membiarkan masalah ini berulang, tanpa upaya memberikan edukasi ekstra kepada generasi muda? Apakah kita akan menjadi masyarakat apatis dengan berpura-pura tidak khawatir akan potensi meluas dan berulangnya aksi kekerasan serupa?

Antagonis

Aksi antagonis jelas merupakan tindakan yang tidak boleh jadi tradisi di masyarakat Indonesia. Perilaku antagonis, jelas merupakan hal yang perlu dicegah (agar tidak terus berulang) melalui proses pendidikan tersturktur dan pembelajaran yang berkesinambungan.

Aksi kekerasan,perlu dikonstruksi (secara sosial) sebagai sesuatu yang buruk, tabu, keji dan perlu dijauhi.

Jika memungkinkan bangunlah stereotype bahwa pelaku kekerasan adalah strata terburuk dari lapisan masyarakat. Sehingga individu akan berpikir ratusan kali sebelum melakukan aksi kekerasan kepada orang lain.

Melalui analisa Robert K. Merton, mungkin benar bahwa aktivitas pacaran akan menghasilkan manfaat fungsional, seperti antarcalon pasangan yang semakin mengenal satu sama lain, juga antarkeluarga bisa saling bersilaturahim lebih dekat.

Namun demikian, ternyata dimensi disfungsionalnya (berpotensi) lebih banyak, seperti rasa cemburu buta, perasaan curiga, sakit hati karena dikhianati, perasaan disingkirkan, perasaan tidak berharga jika kurang mendapatkan perhatian, sampai sakit hati dan perilaku menyakiti pasangan karena ditolak ungkapan cintanya.

Sehingga, jika ditilik dari perspektif rasionalisme, seharusnya seseorang sudah bisa memperhitungkan, seberapa bermanfaat ini bagi saya, dan seberapa berbahaya aktivitas ini?

Jangan sampai remaja terbuai dengan mimpi indah sesaat, namun kemudian terlena dengan potensi petaka di kemudian hari.

Jangan sampai luapan emosional sesaat, menggugurkan rasionalisme dan logika sehat akan potensi mudaratnya.

Perlukah pacaran?

Apakah asumsi klasik bahwa ”pacaran adalah ajang untuk saling mengenal?” masih relevan hari ini? Apakah dalih ’untuk saling memahami satu sama lain’ harus dilakukan dengan pergi berdua, tidak didampingi orangtua, dan bahkan sering kali pulang malam?

Bagi para orangtua, tentunya hal ini merupakan ’early warning’ ataupun sinyal penting untuk berpikir ribuan kali sebelum membolehkan putrinya berpacaran, ataupun pergi berduaan dengan bukan mahram-nya.

Aksi pembunuhan sadis ini, jelas merupakan kode keras bagi keluarga untuk melindungi anggotanya, apakah itu anak-anaknya, cucu-cucunya, adik-adiknya, sepupunya dan lain-lain.

Peristiwa ini merupakan sinyal kuat untuk menghadirkan proteksi ekstra bagi anggota keluarga yang terindikasi akan melakukan tindakan berpacaran.

Ini nasihat penting bagi orangtua untuk tidak terlalu mudah percaya pada ’orang lain’ yang membawa putri remajanya pergi berduaan, apalagi sampai malam hari.

Masyarakat Indonesia secara umum, perlu membangun kohesi sosial yang lebih berkualitas, keinginan saling melindungi, serta kekawatiran terhadap potensi keburukan bagi satu sama lainnya, sehingga mampu menyebarkan moral sosial yang (semakin) baik kepada seluruh anggotanya.

Norma, nilai serta kekuatan moral kolektif masyarakat seharusnya mampu membentuk individu-individu dalam masyarakat tersebut untuk terdorong melakukan perbuatan baik, serta takut melakukan perilaku buruk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com