“Perencanaan tata ruang perlu dilakukan dengan menggali faktor sejarah,” ujar dia.
Berdasarkan kajian Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) bekerja sama dengan Laboratorium Geodesi ITB menyampaikan banjir rob di Pantai Utara Jawa pada 23 Mei 2022 sangat erat kaitannya dengan penurunan tanah atau land subsidence.
Kepala Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB Heri Andreas mengatakan, banjir rob diperparah oleh terjadinya gelombang tinggi dan jebolnya tanggul di beberapa tempat.
"Laju atau kecepatan penurunan tanah di Semarang, Pekalongan, dan Demak saat ini ada yang mencapai 10 hingga 20 sentimeter per tahun. Ini merupakan laju tercepat yang tercatat di dunia," ujar Heri diberitakan Kompas.com, Senin (30/5/2022).
Baca juga: Cerita Warga Tambaklorok Semarang, 10 Tahun Bergelut dengan Banjir Rob
Disamping itu, wilayah yang rentan terdampak krisis iklim yakni di Batang karena diperparah dengan adanya pembangunan PLTU batubara yang tidak ramah lingkungan.
Menurut Bondan, PLTU batubara menyumbang polusi udara pekat dan banyak kerusakan lingkungan lainnya, khususnya bagi ekosistem pesisir pantai.
Namun, Pemerintah Indonesia justru tetap membangun 13,8 GW PLTU batubara baru, yang sebagian besar akan dibangun di Pulau Jawa.
"Sungguh disayangkan Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap batubara di tengah tren global yang sedang bergerak melakukan transisi energi secara masif," ungkap dia.
Maka dari itu, kata dia diperlukan aksi iklim yang nyata dan ambisius pada sektor ini untuk mengurangi dampak krisis iklim.
"Krisis iklim bukanlah proyeksi di masa depan karena sudah terjadi saat ini dan kita semua sudah merasakan dampaknya, bahkan mengancam sejarah peradaban manusia," ungkap dia.
Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah dapat mempercepat proses transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan untuk mengurangi dampak krisis iklim.
"Sudah saatnya pemerintah mempercepat proses transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan untuk mencegah tenggelamnya sejarah dan peradaban masyarakat karena krisis iklim," ujar dia.
Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menyebutkan, sektor energi akan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia pada 2030 mendatang.
Selain itu, panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) juga sudah menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80 persen PLTU batubara pada 2030, serta meninggalkan batubara secara total di 2040 jika tak ingin terjebak krisis iklim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.