Salin Artikel

Jejak Sejarah Peradaban yang Terancam Tenggelam karena Krisis Iklim

KOMPAS.com - Kota Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang menghadapi berbagai dampak krisis iklim.

Adapun sejumlah dampak krisis iklim yang mengancam Kota Semarang yakni banjir rob, penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut.

Dampak dari krisis iklim itu pun tidak hanya berpengaruh terhadap politik, ekonomi, sosial, tetapi juga sejarah peradaban dan budaya.

Situs sejarah tenggelam

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan, sejumlah riset membuktikan ada hubungan kuat antara krisis iklim dan kebudayaan.

Berdasarkan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) menyatakan, krisis iklim mengancam situs warisan dunia atau World Heritage, saat ini dan di masa depan.

"Keberadaan situs-situs bersejarah turut terancam dengan meningkatnya jumlah bencana hidrometeorologi yang diperparah krisis iklim seperti banjir, kekeringan, curah hujan ekstrem, longsor, siklon tropis dan kejadian ekstrem lainnya," kata dia dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (2/11/2022).

Menurut dia, krisis iklim bukan lagi fenomena, melainkan sudah menjadi ancaman, termasuk bagi Kota Semarang yang memiliki ratusan bangunan bersejarah.

"Krisis iklim juga mengancam peradaban dan kebudayaan kita sebagai manusia. Bukan cuma kota dan permukiman yang terancam tenggelam, tapi juga sejarah kehidupan dan identitas warganya. Apabila dibiarkan, hanya akan tersisa cerita untuk anak dan cucu kita,” ucap dia.

Seperti yang terjadi pada Februari 2021, Kota Semarang dilanda banjir yang cukup luas sehingga kawasan bersejarah Kota Lama pun turut terdampak.

Bahkan, permukiman warga di kawasan pesisir Kota Semarang seperti di Kelurahan Tanjung Emas kerap diterjang banjir rob.

Hal itu diperparah dengan jebolnya tanggul laut di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas pada Mei 2022 yang mengakibatkan ratusan rumah warga terendam banjir rob.

Jalur rempah

Selain Kota Semarang, dampak krisis iklim juga mengancam wilayah Demak.

Sejumlah desa di Kecamatan Sayung, Demak tercatat sudah tenggelam akibat banjir rob.

"Padahal, sejarah mencatat bahwa Demak dan Semarang termasuk jalur rempah. Jejak jalur rempah ini diyakini merupakan warisan budaya yang turut membentuk peradaban masyarakat," ujar dia.

Sementara itu, Ahli Tata Ruang dan Planologi, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila mengatakan, pemerintah perlu mengintegrasikan penataan ruang dan lingkungan untuk meminimalisir dampak krisis iklim.

“Perencanaan tata ruang perlu dilakukan dengan menggali faktor sejarah,” ujar dia.

Berdasarkan kajian Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) bekerja sama dengan Laboratorium Geodesi ITB menyampaikan banjir rob di Pantai Utara Jawa pada 23 Mei 2022 sangat erat kaitannya dengan penurunan tanah atau land subsidence.

Kepala Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB Heri Andreas mengatakan, banjir rob diperparah oleh terjadinya gelombang tinggi dan jebolnya tanggul di beberapa tempat.

"Laju atau kecepatan penurunan tanah di Semarang, Pekalongan, dan Demak saat ini ada yang mencapai 10 hingga 20 sentimeter per tahun. Ini merupakan laju tercepat yang tercatat di dunia," ujar Heri diberitakan Kompas.com, Senin (30/5/2022).

Transisi energi bersih

Disamping itu, wilayah yang rentan terdampak krisis iklim yakni di Batang karena diperparah dengan adanya pembangunan PLTU batubara yang tidak ramah lingkungan.

Menurut Bondan, PLTU batubara menyumbang polusi udara pekat dan banyak kerusakan lingkungan lainnya, khususnya bagi ekosistem pesisir pantai.

Namun, Pemerintah Indonesia justru tetap membangun 13,8 GW PLTU batubara baru, yang sebagian besar akan dibangun di Pulau Jawa.

"Sungguh disayangkan Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap batubara di tengah tren global yang sedang bergerak melakukan transisi energi secara masif," ungkap dia.

Maka dari itu, kata dia diperlukan aksi iklim yang nyata dan ambisius pada sektor ini untuk mengurangi dampak krisis iklim.

"Krisis iklim bukanlah proyeksi di masa depan karena sudah terjadi saat ini dan kita semua sudah merasakan dampaknya, bahkan mengancam sejarah peradaban manusia," ungkap dia.

Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah dapat mempercepat proses transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan untuk mengurangi dampak krisis iklim.

"Sudah saatnya pemerintah mempercepat proses transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan untuk mencegah tenggelamnya sejarah dan peradaban masyarakat karena krisis iklim," ujar dia.

Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menyebutkan, sektor energi akan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia pada 2030 mendatang.

Selain itu, panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) juga sudah menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80 persen PLTU batubara pada 2030, serta meninggalkan batubara secara total di 2040 jika tak ingin terjebak krisis iklim.

https://regional.kompas.com/read/2022/11/02/123303978/jejak-sejarah-peradaban-yang-terancam-tenggelam-karena-krisis-iklim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke