Menurut Billy, mengonsumsi ulat dan jamur sagu merupakan sebuah tradisi yang sudah terjadi sejak nenek moyang dan masih dilanjutkan sampai sekarang.
“Inilah kearifan yang kita angkat kembali menjadi Festival Ulat Sagu. Karena mengonsumsi ulat dan jamur sagu merupakan tradisi yang sudah sejak leluhur hingga saat ini,” tuturnya.
Billy menjelaskan, ulat sagu yang telah diambil akan diletakkan di pelepah sagu atau ember berukuran kecil.
Ulat sagu yang baru diambil bisa langsung dibakar seperti membuat sate atau direbus. Jika telah matang, bisa langsung dikonsumsi.
“Bisa bakar, bisa juga rebus. Tergantung selera. Proses bakar dan rebus tidak memakan waktu, sekitar 5-10 menit. Setelah itu bisa langsung dimakan,” jelasnya.
Baca juga: Mentan Ajak Ganti Beras dengan Sagu, Pemprov Jateng Keberatan
Ulat itu juga bisa diolah dengan sagu. Ulat yang diambil dari pohon dicampur dengan sagu kering lalu dibakar.
“Ulat yang diambil dari pohon sagu bisa dicampur dengan sagu lalu dibakar. Bisa juga dimasukkan dalam bambu kemudian dibakar. Bisa juga dicampur dengan sayur lalu dimasak. Tergantung dari selera masyarakat sendiri,” ujarnya.
“Kalau masyarakat di Sentani pada umumnya mengelolah ulat sagu dengan cara dibakar dan rebus serta dibakar bersamaan dengan sagu. Artinya ulat sagu dimasukkan dalam sagu kemudian dibakar menggunakan sempe atau gerabah,” tambahnya.
Mengonsumsi ulat sagu dalam kehidupan orang Sentani sudah dilakukan sejak ratusan tahun, terutama untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak-anak.
Billy menyampaikan, bagi ibu di Sentani yang sedang hamil, maka suaminya diwajibkan untuk mencari ulat sagu untuk dimakan.