Salin Artikel

Melihat Tradisi Pengambilan dan Pengolahan Ulat Sagu di Kampung Yoboi, Jayapura

Bagi mereka, ulat sagu telah dikonsumsi secara turun temurun oleh nenek moyang. Menurut bahasa Sentani, ulat sagu disebut hem.

Pada Festival Ulat Sagu yang digelar selama 25-27 Oktober, masyarakat Yoboi menunjukkan proses pengambilan hingga pengolahan ulat sagu yang kemudian disajikan kepada para pengunjung.

Ketua Panitia Festival Ulat Sagu Yoboi Billy Tokoro mengatakan, ulat itu diambil dari pohon sagu yang telah lewat dari batas umur panen atau dinyatakan mati. Ulat itu diambil phon sagu hutan yang tidak dimakan.

“Sagu-sagu jenis inilah yang ditebang. Kemudian dibiarkan dua sampai tiga bulan. Tergantung dari sagu. Lalu dilubangkan pohon sagu, sehingga kumbang bisa masuk dan melakukan proses, maka terjadinya ulat,” kata Billy kepada Kompas.com, Kamis (27/10/2022).

Ritual Sagu

Masyarakat Sentani, khususnya Kampung Yoboi, menganggap proses penebangan pohon sagu merupakan bagian penting. 

“Tidak sembarang orang menebang pohon sagu. Biasanya orang yang dipercaya memiliki tangan bagus untuk menebang pohon sagu, karena nanti ulatnya banyak,” ungkap Billy.

Menurut Billy, pohon sagu yang ditebang saat festival berbeda dengan biasanya. Hal ini karena pohon yang ditebang dalam jumlah banyak.

Agar hasil ulat sagu sesuai harapan, kepala suku akan menggelar ritual.

“Biasanya terlebih dahulu kasih tahu (memberitahu) dia (kepala suku). Lalu dilakukan rapat adat, setelah itu kepala suku yang bersangkutan akan merestui untuk dilakukan penebangan pohon sagu,” tuturnya.

“Masyarakat percaya bahwa melalui proses ritual yang dilakukan seperti ini, maka hasil ulat dalam sagu akan banyak dan hasilnya baik,” lanjutnya.

“Setiap ibu yang mengandung diwajibkan harus mengkonsumsi ulat sagu,” kata Billy.

Billy membeberkan, setelah ulat diambil, akan tumbuh jamur di pohon sagu tersebut. Bagi masyarakat Sentani, jamur sagu bisa menyembuhkan luka karena mengandung ampisilin.

“Biasanya ibu hamil setelah melahirkan mereka akan makan jamur sagu untuk proses penyembuhan terhadap luka-luka yang ada setelah melahirkan,” bebernya.

Menurut Billy, mengonsumsi ulat dan jamur sagu merupakan sebuah tradisi yang sudah terjadi sejak nenek moyang dan masih dilanjutkan sampai sekarang.

“Inilah kearifan yang kita angkat kembali menjadi Festival Ulat Sagu. Karena mengonsumsi ulat dan jamur sagu merupakan tradisi yang sudah sejak leluhur hingga saat ini,” tuturnya.

Bakar dan Rebus

Billy menjelaskan, ulat sagu yang telah diambil akan diletakkan di pelepah sagu atau ember berukuran kecil.

Ulat sagu yang baru diambil bisa langsung dibakar seperti membuat sate atau direbus. Jika telah matang, bisa langsung dikonsumsi.

“Bisa bakar, bisa juga rebus. Tergantung selera. Proses bakar dan rebus tidak memakan waktu, sekitar 5-10 menit. Setelah itu bisa langsung dimakan,” jelasnya.

Ulat itu juga bisa diolah dengan sagu. Ulat yang diambil dari pohon dicampur dengan sagu kering lalu dibakar.

“Ulat yang diambil dari pohon sagu bisa dicampur dengan sagu lalu dibakar. Bisa juga dimasukkan dalam bambu kemudian dibakar. Bisa juga dicampur dengan sayur lalu dimasak. Tergantung dari selera masyarakat sendiri,” ujarnya.

“Kalau masyarakat di Sentani pada umumnya mengelolah ulat sagu dengan cara dibakar dan rebus serta dibakar bersamaan dengan sagu. Artinya ulat sagu dimasukkan dalam sagu kemudian dibakar menggunakan sempe atau gerabah,” tambahnya.

Terbukti Ratusan Tahun

Mengonsumsi ulat sagu dalam kehidupan orang Sentani sudah dilakukan sejak ratusan tahun, terutama untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan anak-anak.

Billy menyampaikan, bagi ibu di Sentani yang sedang hamil, maka suaminya diwajibkan untuk mencari ulat sagu untuk dimakan.

Menurut kepercayaan masyarakat Yoboi, protein yang dimiliki ulat sagu bermanfaat bagi bayi nantinya.

“Ini merupakan kebiasaan orang di Sentani dari dahulu hingga sekarang,” ucap salah satu pemuda Yoboi yang merupakan penggagas Festival Ulat Sagu ini.

Jamur yang tumbuh pada pohon sagu yang telah diambil ulatnya itu juga bermanfaat buat ibu yang baru melahirkan.

“Jamur sagu ini akan diambil untuk di konsumsi oleh ibu yang baru saja melahirkan (bersalin), sebab dapat menyembuhkan luka-luka pada ibu yang baru saja melahirkan. Jamur sagu ini memiliki kandungan ampisilin yang sangat besar,” ujarnya.

Menurut Billy, mengonsumsi ulat sagu bisa mendukung kebijakan pemerintah tentang menumbuhkan kecerdasan otak pada 1.000 hari kehidupan anak.

“Ini merupakan tradisi yang selama ini dimiliki oleh masyarakat di Sentani dalam meningkatkan kecerdasan otak anak-anak dengan mengkonsumsi ulat sagu. Diwajibkan kepada ibu hamil, sebab akan memberikan asi kepada anak yang baru lahir selama proses pemberian asi,” jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/10/27/144036278/melihat-tradisi-pengambilan-dan-pengolahan-ulat-sagu-di-kampung-yoboi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke