Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Kabar Kasus Mantan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, 19 Pemberi Suap Menguap?

Kompas.com - 11/10/2022, 08:38 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Reni Susanti

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Peninjauan Kembali (PK) kasus suap Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan Isa Ansyari kepada mantan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin ditolak, 19 Juli 2021. 

Artinya, Eldin harus menjalani hukumannya karena terbukti menerima suap untuk perjalanan dinasnya ke Jepang. 

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Abdul Azis, 11 Juni 2020, menjatuhkan vonis enam tahun penjara, denda Rp 500 juta dan subsider empat bulan kurungan kepada Dzulmi Eldin.

"Hak politik terdakwa juga dicabut selama empat tahun setelah bebas nanti," kata Abdul Aziz dalam sidang virtual di PN Medan, Kamis (11/6/2020). 

Baca juga: KPK Eksekusi Wali Kota Medan Nonaktif Dzulmi Eldin ke Lapas Tanjung Gusta

Mendengar putusan tersebut, terdakwa melalui Ketua Tim Penasihat Hukumnya Junaidi Matondang dan Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Siswandono kompak mengatakan pikir-pikir.

Vonis Eldin lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut tujuh tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan subsider enam bulan kurungan, serta mencabut hak politiknya selama lima tahun.

Putusan Pengadilan Tipikor pada PN Medan Nomor 18/Pid.Sus-TPK/2020/PN Mdn terungkap, pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan BUMD Kota Medan secara teratur menyerahkan iuran kepada Eldin.

Sedangkan pengepulnya Syamsul Fitri, pengutipnya Andika Suhartono. Adapun kode yang digunakan "satu kosong" atau "dua kosong". Ini sekaligus jumlah iuran yang harus diberikan yaitu Rp 10 juta dan Rp 20 juta.

Konsorsium 01-02, para pemberi suap mantan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin yang dinilai menguap di makan waktuKOMPAS.COM/MEI LEANDHA ROSYANTI Konsorsium 01-02, para pemberi suap mantan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin yang dinilai menguap di makan waktu

Fakta persidangan menyebut, ada 19 pimpinan OPD yang menyerahkan uang.

Mereka adalah Iswar, Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan yang memberikan uang pribadinya Rp 237 juta dalam empat tahap.

Lalu Kepala Badan Pengelolan Pajak dan Retribusi Daerah Pemkot Medan Suherman, enam kali memberikan uang dengan total Rp 220 juta.

Kemudian, Khairunisa Mozasa, Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan dan Anak, memberikan uang Rp 70 juta.

Ada juga nama Sekretaris Dinas Pendidikan Abdul Johan memberikan uang sebanyak Rp 100 juta. Benny Iskandar, Kadis Perkim Rp 50 juta, dan mantan Kadis Kesehatan Edwin Effendi Rp 30 juta.

Kadis Perdagangan Dammikrot memberi uang sebesar Rp 40 juta. Muhammad Husni selaku Kadis Kebersihan dan Pertamanan Rp 40 juta.

Baca juga: KPK Tetapkan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin sebagai Tersangka

 

Kadis Koperasi dan UKM Edliati Rp 30 juta. Qamaarul Fattah, Kadis Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Rp 10 juta. Usma Polita Nasution, Kadis Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Rp 80 juta.

Ikhsar Risyad Marbun, Kadis Pertanian Rp 30 juta. Kadis Lingkungan Hidup Armansyah Lubis Rp 20 juta. Kepala PD Pasar Rusdi Sinuraya Rp 35 juta.

Emilia Lubis, Kadis Ketahanan Pangan Rp 30 juta. Kepala BPKAD M Sofyan Rp 10 juta. Mantan Kadis Pariwisata, Agus Suriyono Rp 50 juta. Suryadi Panjaitan, Direktur RS Pirngadi Rp 80 juta. 

Terakhir, Renward Parapat, Asisten Administrasi Umum Pemkot Medan, memberikan uang dua kali melalui Andika Suhartono dengan total Rp 15 juta. 

"Pemberian uang dilakukan dengan beragam motif. Berdasarkan pengakuan dari pimpinan OPD, pertama karena mempertahankan jabatan. Kedua loyalitas, ketiga takut sama atasan, keempat patuh perintah dan kelima membantu Dzulmi Eldin," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Ismail Lubis, Senin (10/10/2022).

Menurut Ismail, pemberian uang merupakan tindak pidana korupsi dalam kategori suap dan gratifikasi. Tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk memberikan uang karena Dzulmi Eldin seorang pejabat. 

"Walau tujuannya dikamuflase, tapi bisa dilihat bahwa tindakan memberikan uang untuk mengamankan jabatan si pemberi uang," imbuhnya. 

Ismail menyayangkan tidak adanya proses lanjut kasus ini. Seharusnya, saat proses penyidikan, bisa dilihat secara terang benderang siapa saja yang memberi dan menerima uang.

Mereka harus diproses hukum karena sudah ada putusan hakim yang menyatakan Dzulmi Eldin bersalah. 

"Kalau tidak diproses lanjut, timbul pertanyaan terhadap komitmen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Ada potensi penyelewengan hukum, bisa saja ada kongkalikong," ucap Ismail.

Baca juga: 3 Anggota Polrestabes Medan Perampok Satu Keluarga Ditetapkan Tersangka dan Terancam Dipecat

Dia berharap KPK melanjutkan kembali kasus ini. Menjadikannya peringatan bahwa di Sumatera Utara, untuk bisa menduduki suatu jabatan tidak dilihat dari kualitas dan profesionalitasnya, tetapi tergantung siapa yang bisa memberi setoran.

"Hal ini berbahaya bagi birokrasi dan akan berpotensi terus terulang," ujarnya.

Dituding diskriminasi

Koordinator Eksekutif Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) Ibrahim menambahkan, terlihat jelas diskriminasi penanganan kasus suap Dzulmi Eldin dengan suap Interplasi mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

Penerima suap yakni anggota DPRD Sumut dimintai pertanggungjawaban, persidangannya berjalan bak sinetron. Sebaliknya, kasus Eldin, KPK hanya menjerat kepala Dinas PU.

"Perlakuan berbeda sangat terlihat, ini preseden buruk, mengingat suap di pemerintahan berimplikasi luas karena umumnya uang yang digunakan merupakan dana atau anggaran pemerintah. Berdampak buruk pada jalannya program pemerintahan,” kata Ibrahim.

"Bisa jadi, tingginya kasus korupsi yang melibatkan ASN di Sumut karena anggaran program kerja yang dipotong. Akibatnya, banyak aparatur negara harus merampok anggaran untuk menjalankan program pemerintah," sambungnya.

Baca juga: Berawal Jual Motor di Facebook, Warga di Medan Nyaris Dirampok 3 Oknum Anggota Polisi, Ini Ceritanya

Soal kode satu kosong dan dua kosong, Ibrahim bilang, ini adalah jumlah uang yang harus disiapkan ketika Syamsul Fitri berkunjung.

Menariknya, proses penyerahan uang dijalankan tanpa instruksi dan konfirmasi dari Dzulmi Eldin. Bagi para pemberi uang, Syamsul adalah Eldin, sehingga ketika datang menemui mereka, dipastikan atas perintah Eldin. 

"Sehingga pemberian uang menjadi lumrah sama mereka. Lucunya, di persidangan, Eldin mengaku tidak pernah memerintahkan Syamsul mengutip uang iuran. Dia hanya tahu tas coklatnya selalu berisi uang, situasi ini menjadi tanggung jawab Syamsul," sebutnya.

Praktisi hukum Kota Medan, Muslim Muis menimpali, penyerahan uang merupakan tindak pidana korupsi suap atau gratifikasi.

Oleh karena itu, proses hukum harus dilanjutkan dan tangkap semua yang memberi uang. Kalau KPK tidak melanjutkan proses hukumnya berarti tidak menjalankan penegakan hukum dalam memberantas korupsi.

Semua orang sama di hadapan hukum. Siapapun pelakunya, harus ditindak tanpa melihat jumlah atau jabatannya.

Apabila tidak ada tindaklanjut terhadap kasus ini, benang merah tindak pidana korupsi terputus. Berarti ada pembiaran dan itu salah secara hukum. 

“Pembiaran ini, biasanya terjadi karena ada suap. Mungkin karena terlalu kecil biayanya dan mungkin karena ada kekuatan lebih yang mebuat proses ini tidak lanjut,” kata Muslim.

Juru bicara KPK Ali Fikri, sampai berita ini diturunkan, tidak menjawab konfirmasi yang dilayangkan.

Kronologi kejadian

Pada 6 Februari 2019, Dzulmi Eldin melantik Isa Anyari menjadi Kepala Dinas PU Kota Medan. Setelah pelantikan, Isa rutin memberi uang kepada sebesar Rp 20 juta setiap bulan. Pemberian terhitung mulai Maret sampai Juni 2019.

Pada 18 September 2019, Isa kembali memberi Rp 50 juta, juga merealisasikan permintaan uang Rp 250 juta untuk menutupi ekses dana nonbudget perjalanan dinas Eldin ke Jepang. 

Sebab, sekitar Juli 2019, Eldin melakukan perjalanan dinas ke Jepang dalam rangka kerja sister city antara Kota Medan dan Kota Ichikawa.

Kunjungannya didampingi beberapa kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kota Medan. Ikut istri dan dua anak Eldin, serta beberapa orang yang tidak memiliki kepentingan dengan kunjungan kerja tersebut.

Bahkan, keluarga Eldin memperpanjang waktu tinggal di Jepang selama tiga hari, di luar waktu perjalanan dinas.

Keikutsertaan keluarga dan perpanjangan waktu tinggal membuat pengeluaran perjalanan dinas Eldin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pengeluaran sebesar Rp 800 juta tidak bisa dibayar dengan APBD.

Eldin lalu meminta bantuan Syamsul Fitri.

Syamsul pun membuat daftar kepala dinas untuk dimintai kutipan, bukan hanya kepala dinas yang ikut ke Jepang, yang tidak ikut pun dimintai uang. 

Salah satunya adalah Isa yang menyanggupi dengan memberi Rp 200 juta. Uang itu sebagai kompensasi atas diangkatnya Isa sebagai Kepala Dinas PU.

Ia juga merealisasikan pemberian uang Rp 50 juta yang dititipkan ke Andika. Namun, uang tersebut belum diberikan lantaran terlanjur dikejar tim KPK seusai mengambil uang di rumah Isa.

Eldin ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 15 dan 16 Oktober 2019 di Kota Medan. Dia menjadi tahanan KPK mulai 17 November 2019 dini hari.

Ditahan penyidik di Rutan Kelas 1 Jakarta Timur cabang KPK pada Rutan Pomdam Jaya Guntur sejak 16 Oktober 2019 sampai 4 November 2019.

Terakhir, penahanan oleh penuntut umum di Lapas Kelas 1 Tanjunggusta Medan sejak 11 Februari 2020 dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pada PN Medan. 

KPK menangkap Eldin bersama Kadis PU Kota Medan Isa Ansyari, Kasubbag Protokoler Kota Medan Samsul Fitri Siregar.

Isa duluan menjalani persidangan, dia divonis dua tahun penjara, denda Rp 200 juta dan subsider empat bulan kurungan.

Atas vonis tersebut, Isa tidak melakukan upaya hukum banding, sementara jaksa pikir-pikir.

Awal Maret 2020, Samsul Fitri menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor pada PN Medan dengan Ketua majelis hakim Abdul Aziz.

Eldin dituding menerima uang sebesar Rp 450 juta dari Isa melalui Samsul. Selain Isa, dalam persidangan tersebut 20 nama kepala dinas yang menurut jaksa memberikan uang kepada Eldin melalui perantara Samsul.

Warga Medanjohor, Medan ini, menjadi kepala daerah ke-49 yang terkena OTT KPK. Dilantik pada 17 Februari 2016, Eldin harusnya menjabat sebagai wali kota sampai 2021.

Pria kelahiran 4 Juli 1960 ini diangkat menjadi wali kota menggantikan Rahudman Harahap, wali kota sebelumnya yang juga tersandung kasus korupsi.

Artikel ini merupakan liputan kolaborasi yang dilakukan Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Sumatera Utara, salah satunya Kompas.com dengan organisasi masyarat sipil yaitu SAHdAR dan LBH Medan. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gaji Guru PPPK di Semarang Masih Belum Cair, Wali Kota: Sabtu Cair

Gaji Guru PPPK di Semarang Masih Belum Cair, Wali Kota: Sabtu Cair

Regional
Kick Off ILP, Pj Walkot Nurdin: Upaya Wujudkan Pelayanan Kesehatan Paripurna

Kick Off ILP, Pj Walkot Nurdin: Upaya Wujudkan Pelayanan Kesehatan Paripurna

Kilas Daerah
Status Gunung Ibu Naik Jadi Siaga, Terdengar Dentuman dan Erupsi

Status Gunung Ibu Naik Jadi Siaga, Terdengar Dentuman dan Erupsi

Regional
Suami Tewas Diduga Dianiaya Polisi di Aceh Utara, Istri Korban Minta Hukum Pembunuhnya

Suami Tewas Diduga Dianiaya Polisi di Aceh Utara, Istri Korban Minta Hukum Pembunuhnya

Regional
Perbaikan Jalan Pantura Demak Menyisakan 2 Titik, Contraflow Diberlakukan Jika Macet

Perbaikan Jalan Pantura Demak Menyisakan 2 Titik, Contraflow Diberlakukan Jika Macet

Regional
Dapat Penghargaan dari Serikat Pekerja/Buruh Sumut, Ini Upaya Pj Gubernur Sumut Sejahterakan Buruh

Dapat Penghargaan dari Serikat Pekerja/Buruh Sumut, Ini Upaya Pj Gubernur Sumut Sejahterakan Buruh

Regional
Cerita Luqman Nabung Sejak 2012 dari Hasil Jualan Bakso Bakar, Akhirnya Berangkat Haji Tahun Ini

Cerita Luqman Nabung Sejak 2012 dari Hasil Jualan Bakso Bakar, Akhirnya Berangkat Haji Tahun Ini

Regional
Diduga Malpraktik hingga Pasien Tewas, Lurah di Prabumulih Dinonaktifkan

Diduga Malpraktik hingga Pasien Tewas, Lurah di Prabumulih Dinonaktifkan

Regional
Pemkot Tangerang Raih WTP 17 Kali Berturut-turut, Pj Nurdin: Harus Koheren dengan Kualitas Pelayanan Publik

Pemkot Tangerang Raih WTP 17 Kali Berturut-turut, Pj Nurdin: Harus Koheren dengan Kualitas Pelayanan Publik

Regional
Rektor Laporkan Mahasiswa yang Kritik UKT, Unri Angkat Bicara

Rektor Laporkan Mahasiswa yang Kritik UKT, Unri Angkat Bicara

Regional
Ratusan Moge Mangkrak di Kantor Polisi, Disita dari Geng Motor dan Pengguna Knalpot Brong

Ratusan Moge Mangkrak di Kantor Polisi, Disita dari Geng Motor dan Pengguna Knalpot Brong

Regional
Ibu di Riau Coba Bunuh Anak Tirinya dengan Racun Tikus

Ibu di Riau Coba Bunuh Anak Tirinya dengan Racun Tikus

Regional
Rodjo Tater di Tegal: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Rodjo Tater di Tegal: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Regional
Datangi Gedung DPRD, Puluhan Tenaga Honorer Minta 4.222 Pegawai Diangkat Jadi ASN

Datangi Gedung DPRD, Puluhan Tenaga Honorer Minta 4.222 Pegawai Diangkat Jadi ASN

Regional
BPBD OKU Evakuasi Korban Banjir di 4 Kecamatan

BPBD OKU Evakuasi Korban Banjir di 4 Kecamatan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com