Ismail menyayangkan tidak adanya proses lanjut kasus ini. Seharusnya, saat proses penyidikan, bisa dilihat secara terang benderang siapa saja yang memberi dan menerima uang.
Mereka harus diproses hukum karena sudah ada putusan hakim yang menyatakan Dzulmi Eldin bersalah.
"Kalau tidak diproses lanjut, timbul pertanyaan terhadap komitmen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Ada potensi penyelewengan hukum, bisa saja ada kongkalikong," ucap Ismail.
Baca juga: 3 Anggota Polrestabes Medan Perampok Satu Keluarga Ditetapkan Tersangka dan Terancam Dipecat
Dia berharap KPK melanjutkan kembali kasus ini. Menjadikannya peringatan bahwa di Sumatera Utara, untuk bisa menduduki suatu jabatan tidak dilihat dari kualitas dan profesionalitasnya, tetapi tergantung siapa yang bisa memberi setoran.
"Hal ini berbahaya bagi birokrasi dan akan berpotensi terus terulang," ujarnya.
Koordinator Eksekutif Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) Ibrahim menambahkan, terlihat jelas diskriminasi penanganan kasus suap Dzulmi Eldin dengan suap Interplasi mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Penerima suap yakni anggota DPRD Sumut dimintai pertanggungjawaban, persidangannya berjalan bak sinetron. Sebaliknya, kasus Eldin, KPK hanya menjerat kepala Dinas PU.
"Perlakuan berbeda sangat terlihat, ini preseden buruk, mengingat suap di pemerintahan berimplikasi luas karena umumnya uang yang digunakan merupakan dana atau anggaran pemerintah. Berdampak buruk pada jalannya program pemerintahan,” kata Ibrahim.
"Bisa jadi, tingginya kasus korupsi yang melibatkan ASN di Sumut karena anggaran program kerja yang dipotong. Akibatnya, banyak aparatur negara harus merampok anggaran untuk menjalankan program pemerintah," sambungnya.
Baca juga: Berawal Jual Motor di Facebook, Warga di Medan Nyaris Dirampok 3 Oknum Anggota Polisi, Ini Ceritanya
Soal kode satu kosong dan dua kosong, Ibrahim bilang, ini adalah jumlah uang yang harus disiapkan ketika Syamsul Fitri berkunjung.
Menariknya, proses penyerahan uang dijalankan tanpa instruksi dan konfirmasi dari Dzulmi Eldin. Bagi para pemberi uang, Syamsul adalah Eldin, sehingga ketika datang menemui mereka, dipastikan atas perintah Eldin.
"Sehingga pemberian uang menjadi lumrah sama mereka. Lucunya, di persidangan, Eldin mengaku tidak pernah memerintahkan Syamsul mengutip uang iuran. Dia hanya tahu tas coklatnya selalu berisi uang, situasi ini menjadi tanggung jawab Syamsul," sebutnya.
Praktisi hukum Kota Medan, Muslim Muis menimpali, penyerahan uang merupakan tindak pidana korupsi suap atau gratifikasi.
Oleh karena itu, proses hukum harus dilanjutkan dan tangkap semua yang memberi uang. Kalau KPK tidak melanjutkan proses hukumnya berarti tidak menjalankan penegakan hukum dalam memberantas korupsi.
Semua orang sama di hadapan hukum. Siapapun pelakunya, harus ditindak tanpa melihat jumlah atau jabatannya.
Apabila tidak ada tindaklanjut terhadap kasus ini, benang merah tindak pidana korupsi terputus. Berarti ada pembiaran dan itu salah secara hukum.
“Pembiaran ini, biasanya terjadi karena ada suap. Mungkin karena terlalu kecil biayanya dan mungkin karena ada kekuatan lebih yang mebuat proses ini tidak lanjut,” kata Muslim.
Juru bicara KPK Ali Fikri, sampai berita ini diturunkan, tidak menjawab konfirmasi yang dilayangkan.
Pada 6 Februari 2019, Dzulmi Eldin melantik Isa Anyari menjadi Kepala Dinas PU Kota Medan. Setelah pelantikan, Isa rutin memberi uang kepada sebesar Rp 20 juta setiap bulan. Pemberian terhitung mulai Maret sampai Juni 2019.
Pada 18 September 2019, Isa kembali memberi Rp 50 juta, juga merealisasikan permintaan uang Rp 250 juta untuk menutupi ekses dana nonbudget perjalanan dinas Eldin ke Jepang.
Sebab, sekitar Juli 2019, Eldin melakukan perjalanan dinas ke Jepang dalam rangka kerja sister city antara Kota Medan dan Kota Ichikawa.