Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Shendy Adam
ASN Pemprov DKI Jakarta

ASN Pemprov DKI Jakarta

Pelajaran dari Tragedi Kanjuruhan

Kompas.com - 03/10/2022, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJATINYA manusia memiliki naluri dasar bersenang-senang. Sejarawan Belanda, Johan Huizinga melontarkan gagasan mengenai homo ludens—insan yang bermain. Olahraga adalah salah satu perwujudannya.

“Hingga saat ini, olahraga permainan dan atletik sebagai fungsi sosial, telah terus meningkat dalam lingkup nasional maupun internasional. Kontes dalam keterampilan, kekuatan dan ketekunan, seperti yang telah ditunjukkan, selalu menempati tempat penting dalam setiap budaya baik dalam kaitannya dengan ritual atau hanya untuk bersenang-senang dalam olah raga yang selalu meriah,” tulis Huizinga dalam Homo Ludens: a Study of The Play-Element in Culture (1949: 200-201).

Hebatnya, olahraga tidak hanya mendatangkan kesenangan bagi para pelakunya, tapi juga bagi siapa saja yang melihat.

Dalam perkembangannya, olahraga tidak lagi sekadar ekspresi homo ludens, melainkan sudah bergeser menjadi tontonan, hiburan dan bisnis yang dikemas sebagai produk industri olahraga.

Di negara-negara maju, industri olahraga sudah dikemas dengan amat profesional. Liga basket NBA, liga sepak bola di negara-negara Eropa adalah sedikit contohnya. Para pemainnya tak ubah selebritas panggung hiburan.

Tak mau ketinggalan, di Indonesia pun olahraga sebagai industri sudah mulai berkembang. Apalagi sepak bola, yang memiliki jutaan penggemar setia.

Kompetisi sepak bola di Tanah Air memiliki sejarah panjang. Bahkan sejak masa prakemerdekaan, lewat turnamen perserikatan hingga hari ini melalui Liga Indonesia Baru.

Seiring mulai bangkitnya prestasi sepak bola Indonesia, ujian datang lewat tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10) malam.

Data pemerintah yang dihimpun hingga Minggu (2/10/2022) malam, sebanyak 125 orang tewas dalam kerusuhan tersebut. Korban luka sebanyak 299 orang. Rinciannya, 260 orang luka ringan dan 39 luka berat.

Jatuhnya korban jiwa dari pertandingan sepak bola bukan baru kali ini saja terjadi di Indonesia. Kasus demi kasus kerap terjadi menimpa suporter. Namun, kejadian di Kanjuruhan sungguh tragis karena banyaknya jumlah korban.

Akibat peristiwa ini bukan tidak mungkin status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan akan ditinjau ulang FIFA.

Terlepas apapun nanti keputusannya, PSSI dan seluruh pihak harus melakukan evaluasi menyeluruh. Bukan untuk mencari siapa yang disalahkan, tetapi untuk melakukan perbaikan.

Dari sisi suporter, seyogianya bisa lebih memahami bahwa sepak bola adalah permainan. Kalah atau menang dalam permainan itu biasa. Tidak perlu meluapkan kekecewaan dengan tindakan tidak perlu, apalagi sampai membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Sementara dari sisi petugas keamanan, pemahaman akan aturan main itu mutlak. Regulasi FIFA mengatur secara jelas prosedur pengamanan. Penggunaan gas air mata seperti yang terjadi di Kanjuruhan sangat terlarang.

Pengelola liga dan PSSI juga harus mengevaluasi kesiapan panitia pelaksana. Jadwal pertandingan yang kerap dimainkan larut malam juga harus ditinjau kembali.

Semoga peristiwa memilukan seperti ini tidak terjadi lagi di Indonesia. Satu nyawa saja terlalu mahal untuk sebuah kesenangan bernama sepak bola.

Biarkan sepak bola menjadi ekspresi homo ludens yang menjadi hiburan. Bukan justru menjadi ekspresi homo homini lupus alias manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com