SUMBAWA, KOMPAS.com- Perkawinan anak adalah persoalan yang membutuhkan penanganan serius dari semua pihak.
Beragam hal menjadi faktor pemicu para penyintas dipaksa menjadi orang dewasa, saat usia mereka masih sangat muda.
Dari hasil penelitian PUSKAPA dan Badan Pusat Statistik (BPS), tren perkawinan anak tidak hanya terjadi pada anak perempuan tetapi juga pada anak laki-laki di pedesaan.
Salah satu kasus pernikahan anak dialami oleh T, pemuda di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Baca juga: Dugaan Judi di Arena Pacuan Kuda Sumbawa Jadi Sorotan, Kapolda NTB: Segera Kami Tindak Lanjuti
Saat pandemi Covid 19, angka perkawinan anak cenderung mengalami peningkatan. Ketika siswa harus belajar dari rumah, T (15) memilih putus sekolah. Saat itu, ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sebagai anak laki-laki yang tinggal di pedesaan Pulau Sumbawa, T terpaksa menjalani kehidupan sebagai orang dewasa.
Baca juga: Ironi Joki Cilik Pacuan Kuda, Tradisi yang Rentan Eksploitasi
Dia ikut mencari nafkah dan bekerja membantu orangtua. Bak tak punya pilihan lain, T dihadapkan pada tanggung jawab besar sebagai seorang suami.
"Saya menikah saat usia 14 tahun. Dua minggu setelah Lebaran Idul Fitri tahun 2021,” kata T, Sabtu (3/9/2022).
T yang sedang bersantai di depan rumah menceritakan kisah hidupnya.
Jika diberi kesempatan untuk memilih, T mengaku ingin melanjutkan sekolah. Menurutnya, menikah adalah pilihan orangtua.
Sebenarnya T belum mau menikah, karena masih ingin mencari pekerjaan namun desakan orangtua membuatnya terpaksa memilih jalan itu.
Baca juga: Tepergok Curi Motor, Satpam di Sumbawa Ditangkap